Selingkuh Tiada Akhir (Oh.. Nikmatnya)

Administrator

Selingkuh Tiada Akhir (Oh.. Nikmatnya)


 Bab 1: Aroma Buku dan Dosa Pertama

Senin, 15 Januari 1990

Udara pagi di Jakarta terasa dingin menusuk kulit, tapi tidak cukup dingin untuk membekukan rutinitas. Marina berdiri di depan jendela dapur, menyeruput kopi kentalnya sambil memandangi Dino, putra semata wayangnya, yang sedang mengancingkan seragam putih merahnya yang rapi. Di sebelahnya, Armando—Mando, suaminya—terlihat menawan dengan kemeja polo bermerek yang selalu ia kenakan untuk mengantar Dino ke sekolah. Mando, di usianya yang menginjak 41 tahun, masih terlihat gagah. Pinggangnya ramping, bahunya bidang, dan sorot matanya yang tenang adalah alasan mengapa ia begitu sukses sebagai CEO Nostalgia FM. Pagi ini, Mando akan mengudara jam sepuluh, membawakan acara nostalgia musik jadul yang selalu didengarkan para gabut dan penikmat musik tempo dulu.

Marina, di usia 34 tahun, adalah pemandangan yang tak kalah mempesona. Ia tahu itu. Ia bangga dengan apa yang ia miliki: lingkar pinggang kecil yang masih ia jaga, perut datar berkat yoga, dan pantat bahenol yang selalu sukses membuat Mando menoleh. Tapi yang paling ia sukai, dan yang paling disukai Mando, adalah payudara jumbo miliknya, dengan puting agak panjang dan areola berwarna pink muda yang katanya bisa membangkitkan nafsu siapapun yang melihat.

Namun, mengagumi tidak lagi sama dengan menginginkan.

"Rin, Papa berangkat dulu, ya. Kamu jangan lupa, client ATK baru hari ini harus di-follow up. Angka penjualan kita bulan ini harus tinggi," ujar Mando, mengecup kening Marina secepat kilat. Ciuman itu terasa hangat, sayang, dan... sekadar tugas.

"Iya, Mando. Santai aja. Semua udah Marina atur. Kamu fokus aja siaran. Jangan lupa salam buat para pendengar setiamu," jawab Marina, berusaha menyembunyikan getaran hampa di balik suaranya yang ceria.

Inner Monologue (Marina): Lihat dia. Suamiku. Pria yang membuat wanita lain rela antri cuma buat dengar suaranya di radio. Tapi kenapa di rumah, gairah di matanya itu cuma buat laporan keuangan? Aku butuh lebih dari sekadar pelukan hangat, Mando. Aku butuh api. Dan api itu sudah lama mati di kasur kita sejak Dino lahir. Dia terlalu takut 'mengganggu' tidurnya setelah capek siaran.

Setelah Mando dan Dino pergi, Marina bersiap bekerja. Ia adalah tenaga penjualan reseller yang cekatan, berurusan dengan suplai ATK kantor, buku novel, dan beraneka barang lainnya. Dia suka pekerjaannya, terutama karena fleksibilitasnya. Tapi hari ini, ia memiliki janji yang berbeda. Seorang pelanggan baru, sebuah toko buku independen yang meminta pasokan khusus. Bukan hanya pulpen dan kertas A4.

Siang itu, Marina mengarahkan mobil sedan putihnya menuju daerah RUKO yang relatif baru, di pinggiran kota. Di sana, di antara deretan toko hardware dan toko kelontong, berdirilah sebuah RUKO dua lantai dengan plang kayu berukir sederhana: YORASAKI. Toko Buku & Alat Tulis.

Ia disambut oleh aroma khas kertas baru yang bercampur dengan debu halus buku lama. Lalu, ia melihat pemiliknya.

Brama.

Pria itu seusia dengannya, 34 tahun, terlihat santai dengan kaus abu-abu polos dan celana jins belel, tapi ada aura kematangan dan vibe pensiunan muda yang sangat terasa. Brama menyambutnya dengan senyum lebar yang terlihat tulus, tidak dibuat-buat seperti senyum client kantor.

"Selamat siang, Rina. Akhirnya kamu datang juga. Aku Brama. Panggil aja Bram. Toko ini baru buka, jadi aku lumayan pusing ngurus inventory," sapa Brama, mengulurkan tangan.

Saat kulit tangan Brama yang hangat menyentuh telapak tangan Marina, Marina merasakan sengatan listrik yang sudah lama ia lupakan. Tangan Brama memegang tangannya sedikit lebih lama dari yang seharusnya.

"Marina. Panggil Rina juga nggak apa-apa. Iya, Bram. Gimana? Katanya ada pesanan khusus?" tanya Marina, mencoba kembali profesional.

"Ada, tentu ada," Brama tersenyum misterius. "Aku denger dari distributor lain, kamu ini jago banget nyari barang langka. Nah, aku lagi butuh koleksi-koleksi lama, yang... agak nakal. Buat segmen pembaca kita yang gabut, terutama ibu-ibu dan mahasiswa. Mereka suka koleksi Enny Arrow itu, kan?"

Marina tertawa kecil, suara tawa yang sudah lama tidak ia dengar dari dirinya sendiri. Tawa yang sensual. "Enny Arrow? Wow. Klasik. Itu barang panas, Bram. Nggak bisa masuk invoice kantor, harus di luar. Masuk kantong pribadi kita berdua."

Brama mengangguk, matanya menatap Marina lurus, tidak ke payudara jumbo yang sedikit menonjol di balik blus kerjanya, tapi langsung ke matanya. Itu membuat Marina merasa telanjang, tapi dengan cara yang menyenangkan.

"Aku mengerti kode etik bisnis yang panas, Rina. Jangan khawatir. Masalah finansial beres. Aku tahu kamu kerja keras," kata Brama. "Tapi kayaknya, ini bukan pembicaraan untuk di depan rak buku. Lantai dua RUKO ini tempat tinggalku. Gimana kalau kita naik sebentar? Sambil aku bikinin kamu kopi, kita bahas detail pengiriman."

Tawaran itu terselubung, dan Marina paham betul apa arti dari ‘membahas detail pengiriman’ di lantai dua yang sepi itu. Ia tidak menolaknya. Ia bahkan tidak berpikir dua kali.

Inner Monologue (Marina): Brengsek. Dia tahu. Dia tahu aku butuh ini. Dia ngomongin bisnis, tapi matanya kayak lagi ngelucuti aku. Kopi? Siapa yang peduli sama kopi? Ini bukan cuma untung di finansial, Rin. Ini untung di vibe yang udah lama mati. Ayo, Marina. Jangan jadi istri shalehah cuma di depan rak buku. Naik!

Lantai dua RUKO itu terasa seperti kontras total dari toko di bawah. Dindingnya dicat abu-abu gelap, minimalis, dengan satu jendela besar yang menghadap ke atap bangunan lain. Di tengah ruangan, ada satu sofa kulit single yang menghadap ke rak musik vinyl. Di sudut, sebuah meja kerja sederhana dengan pemutar kaset. Atmosfernya maskulin, terasa aroma parfum pria yang kuat bercampur dengan bau kayu.

"Silakan, Rina. Duduk. Nggak usah sungkan. Anggap aja ini kantor cabang YORASAKI yang rahasia," ujar Brama, suaranya kini sedikit lebih dalam, lebih parau.

Marina duduk di sofa, tapi pandangannya tidak lepas dari Brama yang berjalan pelan menghampirinya. Brama tidak membuat kopi. Dia berdiri di depannya, menatapnya, menikmati keheningan yang perlahan dipenuhi oleh gairah yang tak terhindarkan.

"Soal Enny Arrow, aku butuh setidaknya dua puluh eksemplar, Rina," kata Brama, suaranya tenang, tapi tangannya mulai bergerak.

"Dua puluh? Oke. Tapi harga spesial, ya?" Marina menjawab, suaranya sudah mulai tercekat.

Brama tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya pelan, tanpa tergesa, lalu jari-jarinya yang tebal dan hangat mulai menyentuh bagian samping leher Marina.

"Harga spesial buat kamu, Rina. Aku janji," bisik Brama, suaranya kini persis di telinga Marina.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan. Kenapa sentuhannya begini? Mando selalu tergesa-gesa. Ini... lambat, tapi intensitasnya gila. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Leherku. Dia cuma pegang leherku.

Brama kemudian menarik tangan Marina lembut, membawanya berdiri, berhadapan dengannya. Ia tidak mencium. Ia hanya menatap. Matanya membaca setiap helai keengganan palsu yang ada di wajah Marina, lalu ia tersenyum. Senyum kemenangan seorang pria yang tahu persis apa yang dibutuhkan wanita di depannya.

Brama lalu menyentuh kancing blus Marina, perlahan, seolah memberikan waktu bagi Marina untuk mundur. Marina tidak bergerak. Dia hanya menahan napas, menikmati sensasi kancing pertama terlepas, lalu kedua, dan seterusnya.

"Aku nggak suka buru-buru, Rina. Aku suka menikmati setiap... perincian," bisik Brama, sambil menarik blus Marina dari bahunya. Blus itu meluncur ke lantai dengan suara lembut, meninggalkan Marina hanya dengan rok pensil, stoking, dan bra.

Pemandangan payudara jumbo Marina dengan puting menegang adalah hadiah yang tidak terduga bagi Brama. Meskipun Brama duda, ia mengakui, ini adalah pemandangan paling menggoda yang pernah ia lihat.

"Kamu indah, Rina. Sialan, kamu indah," desah Brama, matanya berkilat liar.

Ia tidak merobek, ia hanya melepaskan bra itu dengan cekatan. Tali bra terlepas, dan payudara Marina membebaskan diri, berayun sedikit sebelum Brama menangkapnya dengan kedua tangan, meremas lembut tapi penuh hasrat.

"Uh..." Hanya itu yang bisa diucapkan Marina. Tubuhnya langsung merespons.

"Kamu suka ya, Rin? Suka kalau tanganku menguasai ini?" tanya Brama, suara parau dan sensual.

"Lebih... lebih dari suka, Bram. Jangan berhenti," balas Marina, suaranya serak. Ia tahu ini vulgar, ia tahu ini terlarang, tapi ia tidak peduli. Perasaan hidup ini jauh lebih berharga.

Brama menurunkan Marina ke lantai, memposisikannya di atas karpet tebal di depan sofa. Dalam sekejap, rok Marina dan celana Brama juga sudah terlepas. Kali ini, Marina tidak menunggu Brama. Ia yang berinisiatif. Ia menurunkan celana dalam Brama.

Mata Marina terbelalak. Kontol Brama.

Panjang.

Tidak hanya panjang, tapi juga tebal, dengan urat-urat yang menonjol dan terlihat siap tempur. Itu adalah pemandangan yang membuat Marina langsung terangsang hebat, lebih dari biasanya.

Inner Monologue (Marina): Astaga. Ini gila. Ini bukan ukuran normal. Pantas saja dia santai banget. Ini... ini adalah nafkah batin yang aku cari selama ini. Mando, maafkan aku, tapi aku butuh yang ini.

"Bram... ini..." Marina menggenggamnya, terasa panas dan keras di tangannya.

"Ini buat kamu, Rina. Milik kamu sekarang," jawab Brama, dengan tatapan penuh kepemilikan. "Pakai ini. Aku nggak pakai kondom. Aku mau kamu ngerasain setiap inchnya. Kamu mau, kan?"

"Aku mau! Aku mau, Bram!" Marina mendesak, tubuhnya sudah merayap dan membuka paha.

Brama tidak menunggu lagi. Ia memposisikan dirinya, dan dengan tarikan napas tertahan, ia mendorong kontol panjangnya masuk ke dalam memek Marina yang sudah basah dan siap.

SLOOP!

Suara memek Marina yang menjepit membuat Brama mendesah keras. Pelumas alami Marina melimpah, memudahkan masuknya kontol Brama, tapi ukurannya yang di luar normal tetap memberikan sensasi peregangan yang menyakitkan sekaligus memuaskan.

"Ah! Bram! Pelan! Sakit... enak!" rintih Marina, menggigit bibirnya, kepalanya menoleh ke samping.

Brama menahan diri. Ia bergerak lambat, memulai koreografi hasrat mereka dengan tempo yang diatur. Satu dorongan dalam, lalu jeda. Dorongan lagi, dan ia mencium leher Marina, menjilati setiap garis vena yang berdenyut kencang.

"Aku nggak akan berhenti sampai kamu minta aku cepat, Rina. Nikmatin dulu vibe awal ini. Kamu nggak tahu seberapa kenceng memek kamu ini ngejepit aku," bisik Brama, menggabungkan kata-kata vulgar dan pujian.

Gerakan perlahan itu, penuh sentuhan sensual di kulit, membuat Marina kehilangan kendali. Ia mencakar punggung Brama, mencengkeram pantatnya yang keras, dan mengangkat pinggulnya sendiri, meminta lebih.

"Cepat, Bram! Ngentot aku yang kencang! Aku nggak tahan lagi! Ahh!" teriak Marina.

Mendengar permintaan itu, Brama langsung mengubah ritme. Dari lambat dan membuai, menjadi cepat dan brutal. Kontol Brama menghantam memek Marina dengan irama yang memabukkan, derit pegas sofa menjadi latar musik yang memalukan sekaligus menyenangkan.

"Ini yang kamu mau, Rin? Ini! Ini nafkah batin yang kamu cari! Rasain! Jangan pernah bilang nggak enak!" Brama berteriak, suaranya berat karena gairah.

Punggung Marina melengkung. Matanya terpejam. Setiap hentakan terasa seperti gelombang listrik yang mengumpul di titik paling sensitifnya.

Inner Monologue (Marina): Aku harus datang! Sekarang! Kenikmatan ini terlalu gila! Mando, maaf! Aku nggak bisa berhenti membandingkan! Ini sempurna! Oh, ya Tuhan!

ORGASME PERTAMA (MARINA): Tiba-tiba, Marina menjerit panjang. Tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya bergerak tak terkendali, dan memek-nya berkontraksi kuat, memeras kontol Brama dengan kejang-kejang kenikmatan. Muncratan cairan kebahagiaan menyebar.

Brama berhenti sejenak, hanya untuk melihat ekspresi Marina yang baru saja mencapai klimaks. Ia tertawa kecil, tawa santai yang memecah ketegangan erotis itu.

"Gila, Rina. Baru pemanasan lho. Kenceng banget kamu. Tapi aku belum. Aku nggak gampang muncrat," kata Brama, terengah-engah, lalu mengecup kening Marina yang basah oleh keringat.

Ia membalikkan posisi mereka, membawa Marina ke posisi spooning menyamping. Kontol Brama yang masih berdiri tegak dan panjang ditarik keluar sejenak, dan didorong masuk kembali dari belakang, menyentuh bagian terdalam memek Marina.

"Sekarang, kita main santai. Aku mau kamu ngerasain setiap dorongan. Aku mau kamu ingat rasa ini saat kamu lagi sama Mando," bisik Brama, kini bergerak lambat lagi, menikmati kehangatan dan kelembaban Marina.

"Pelan... pelan gini, aku jadi gila lagi, Bram," desah Marina, menikmati gesekan tubuh Brama di punggungnya. "Kamu... kamu itu setan berwajah malaikat."

Inner Monologue (Brama): Gue udah latihan ngontrol diri lama, biar bisa nikmatin ini lama. Wanita seksi kayak Rina ini nggak pantes cuma dikasih tiga menit. Gue harus buat dia lupa caranya pulang. Dan dia harus jadi pemasok gue, bukan cuma buku, tapi juga... ini.

Brama meningkatkan tempo lagi, menyadari waktu yang tersisa sebelum Marina harus pulang dan berpura-pura menjadi istri CEO yang baik. Ia mencengkeram pinggul kecil Marina, menariknya kuat-kuat ke belakang, dan menghantamnya dengan kecepatan maksimum.

"Tahan, Rina! Kita selesaikan bareng! Aku mau kamu teriak nama aku! Bilang kamu cinta kontol aku!" teriak Brama.

"Ah, kontol kamu! Aku cinta kamu! Ah! Ah! Bram! Jangan! Jangan keluar dulu!" pinta Marina, yang sudah merasakan gelombang orgasme kedua mendaki.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): Brama mengabaikan permintaan Marina untuk menahan. Ia tahu sudah waktunya. Ia menekan pinggul Marina kuat-kuat, dorongan terakhirnya begitu dalam hingga Marina menjerit histeris. Bersamaan dengan jeritan Marina yang mencapai klimaks kedua yang lebih dalam dan lebih memuaskan dari yang pertama, Brama mengerang keras, menjatuhkan semua energinya. Kontol panjangnya terasa memompa, melepaskan seluruh isi perutnya yang panas ke dalam rahim Marina yang hangat.

Mereka roboh. Napas terengah-engah. Keringat membasahi karpet di lantai dua RUKO yang kini berbau seks dan dosa.

Brama memeluk Marina dari belakang, masih menyisakan kontolnya di dalam, menikmati sensasi afterglow.

"Sempurna, Rina. Sempurna," bisik Brama.

Marina membalikkan badan, mengecup Brama dengan ciuman yang kini tak lagi tergesa-gesa, tapi penuh dengan komitmen. Komitmen pada hubungan terlarang ini.

"Sekarang, mana bayaran buku-buku itu, Bram? Jangan lupa diskon spesial buatku," ujar Marina, kembali ke vibe humoris dan santai setelah badai hasrat.

Brama tertawa terbahak-bahak, lalu menarik Marina ke atas sofa, dan menyerahkan amplop tebal berisi uang, diselipkan di antara dua lembar invoice fiktif.

"Ambil. Itu buat kamu. Ganda, Rina. Finansial dan... yang ini. Kapan kamu bisa kembali, Rina? Kamu tahu, aku juga pendengar setia Nostalgia FM, tapi aku lebih setia sama memek kamu."

Marina tersenyum misterius. "Segera, Bram. Aku janji. Suamiku lagi sibuk di radio, jadi aku punya banyak waktu gabut buatmu."

Marina membereskan diri, mengenakan kembali pakaiannya, dan meninggalkan lantai dua RUKO YORASAKI dengan langkah ringan. Ia pulang bukan hanya membawa keuntungan finansial yang baru, tapi juga janji nafkah batin yang sempurna, yang ia tahu, akan terus berlanjut. Sementara Brama, kini sudah memasang vinyl di pemutar kasetnya.

Inner Monologue (Marina, dalam perjalanan pulang): Malam ini, aku nggak akan nuntut Mando. Biar dia istirahat. Aku sudah kenyang. Kenyang banget. Sampai jumpa besok, Bram. Oh... nikmatnya selingkuh ini.

Inner Monologue (Brama, di lantai dua): Dia nggak tahu kalau RUKO ini punya rooftop multi fungsi. Lain kali, kita coba di sana. Dengan bintang dan bulan sebagai saksi. Dan Mando, terima kasih. Istrimu sekarang milikku.

October 7, 2025 5:46 PM

Administrator

 Bab 2: Hukum Ranjang dan Atap Rahasia

Kamis, 18 Januari 1990

Tiga hari terasa seperti tiga tahun bagi Marina. Sejak Senin sore itu, ketika ia meninggalkan lantai dua RUKO YORASAKI, bayangan kontol panjang Brama, tawa renyahnya yang santai setelah orgasme pertama Marina, dan aroma maskulin ruangan itu terus menghantui. Malamnya, ia bersikap super manis pada Mando, suaminya. Ia memeluk Mando lebih erat dari biasanya, mencium pipinya dengan lembut, dan sama sekali tidak menuntut nafkah batin—sebuah hal yang membuat Mando lega sekaligus sedikit bingung.

Inner Monologue (Marina): Aku cuma pura-pura baik, Mando. Aku udah kenyang. Kenyang banget. Sampai nggak butuh kamu lagi. Dan itulah enaknya selingkuh ini. Aku dapat jatah sempurnaku dari Brama, dan kamu bebas dari tuntutan. Win-win solution yang dosa.

Siang ini, Marina punya alasan sempurna untuk kembali. Ada kiriman khusus koleksi vintage Enny Arrow dari distributor lain yang baru datang. Ia menelepon Brama, mengklaim perlu diskusi tentang harga dan kuota. Brama hanya tertawa di ujung telepon.

"Aku tahu kamu kangen, Rina. Nggak usah pakai alasan buku. Tapi kalau kamu mau pakai alasan itu, silakan. Aku tunggu di sini, jam dua siang," ujar Brama, suaranya mengandung janji dan hasrat.

Pukul 14:00 WIB, Marina memarkir sedan putihnya di depan RUKO YORASAKI. Toko di bawah sepi, hanya ada satu dua mahasiswa yang memilih-milih novel mainstream. Brama menyambutnya di tangga, tatapan mereka beradu, penuh dengan memori panas tiga hari lalu.

"Selamat datang kembali, Rina. Aku udah siapin tempat baru buat kita. Biar nggak bosan," bisik Brama, tanpa basa-basi.

"Tempat baru? Di mana?" tanya Marina, langkahnya sudah terburu-buru menaiki tangga.

"Di atas. Rooftop," jawab Brama sambil tersenyum misterius. "Aku mau kamu ngerasain ngentot di bawah langit Jakarta. Tapi sebelum itu, ada yang harus kita bicarakan di sini. Soal... 'kontrak' hubungan kita."

Mereka tiba di lantai dua. Suasananya sama, aroma kayu dan kulit sofa. Marina duduk di sofa, sementara Brama berdiri di depannya, kini tampak serius.

"Aku suka kamu, Rina. Aku suka cara kamu bergerak, cara kamu menjerit, dan cara memek kamu ngejepit aku. Aku nggak mau ini cuma jadi sekali atau dua kali," Brama memulai, suaranya tenang tapi mengandung perintah.

Marina terkejut dengan nada serius Brama. "Aku juga nggak mau, Bram. Aku nggak pernah ngerasain kenikmatan se-gila itu. Kamu tahu itu."

Brama mengangguk. "Aku tahu. Dan aku akan kasih kamu kepuasan yang sempurna itu, kapan pun kamu mau. Tapi ada syaratnya."

Brama mendekat, duduk di sebelah Marina, dan memegang tangan wanita itu.

"Hubungan ini harus balance. Di mata dunia, kamu harus tetap jadi istri yang baik buat Mando. Kamu nggak boleh tiba-tiba jadi dingin sama dia hanya karena udah kenyang dari aku," jelas Brama, matanya menatap tajam ke mata Marina.

Inner Monologue (Marina): Dia... dia mengatur permainannya? Dia nggak serakah, dia malah ingin memastikan aku tetap 'berfungsi' sebagai istri Mando? Ini di luar dugaan. Dia bukan cuma brengsek, dia brengsek yang cerdas.

"Maksud kamu?" tanya Marina, sedikit bingung.

"Maksud aku gini, Sayang. Malam hari, di rumahmu, kalau Mando minta jatah, kamu nggak boleh nolak. Kalau dia ngentot kamu, walaupun cuma sebentar, walaupun rasanya biasa aja, kamu harus tetap berakting. Anggukkan kepalamu, desah seolah kamu puas. Jangan pernah nuntut dia lagi, tapi juga jangan pernah tunjukkan ketidakpuasanmu," kata Brama, suaranya kini mengandung hasrat dan dominasi.

Marina menelan ludah. "Tapi, Bram... aku nggak bakal puas. Aku udah tahu rasanya kontol panjang kamu. Rasanya ngentot sama Mando itu kayak ngopi tanpa gula sekarang."

Brama tertawa, sebuah tawa yang merendahkan tapi erotis. "Tepat! Dan itulah poinnya! Kamu akan palsukan kepuasan itu di depan Mando, jadi dia merasa dia masih suami yang hebat, dia merasa kamu nggak nuntut dia. Dan sebagai gantinya, aku akan kasih kamu kepuasan yang sempurna di sini. Kita main peran, Rina. Di rumah kamu jadi istri yang terima apa adanya, di sini kamu jadi wanita jalangku yang haus dan tidak pernah puas."

Ia mendekatkan wajahnya. "Kamu dapet keuntungan ganda. Finansial dari buku, dan nafkah batin sempurna dari aku. Dan Mando, dia nggak akan pernah curiga karena dia pikir kamu sudah puas."

"Kamu... kamu gila, Bram," bisik Marina, tapi matanya berbinar. Ia suka dominasi ini. Ia suka bagaimana Brama merancang perselingkuhan mereka seolah-olah ini adalah sebuah operasi rahasia.

"Jadi, setuju dengan hukum ranjang ini, Sayang?" tantang Brama.

"Setuju. Tapi... bayarannya harus sepadan. Aku mau kamu benar-benar membuatku lupa rasanya ngentot sama Mando," balas Marina, kini ganti menantang.

"Tentu saja. Mari kita ke atap. Aku akan tunjukkan bayaran itu sekarang," Brama menyeringai, lalu berdiri, mengulurkan tangan.

ROOFTOP YORASAKI

Atap RUKO itu ditata sederhana. Ada area jemuran, tapi di sisi lain, Brama menempatkan dua kursi kayu panjang dan meja kecil. Langit Jakarta sore itu masih cerah, angin berhembus kencang, membawa aroma debu kota yang kering.

Brama tidak menunggu lagi. Begitu mereka tiba, ia mendorong Marina ke dinding RUKO yang dicat putih, tangannya langsung melilit pinggang Marina, mencium wanita itu dengan liar. Ciuman itu jauh lebih brutal dan menuntut daripada ciuman di Bab 1. Lidah Brama menyusup dalam, menekan lidah Marina, menuntut respons yang sama panasnya.

Marina membalas ciuman itu dengan gila. Kakinya gemetar, pinggulnya langsung bergerak refleks mencari kontol Brama.

"Kamu wangi, Rin. Wangi dosa," desah Brama, menarik diri sejenak, wajahnya dipenuhi keringat dan gairah.

Tanpa melepaskan bibir, Brama meraba tubuh Marina, lalu dengan satu gerakan cepat, ia menarik zipper rok pensil Marina, lalu menarik rok itu ke bawah. Rok itu meluncur ke pergelangan kaki Marina, meninggalkan Marina hanya dengan blus dan stoking.

"Jangan buang waktu, Bram," pinta Marina, suaranya serak, matanya tertutup.

"Oh, aku nggak buang waktu. Aku cuma menikmati pemandangan," balas Brama, lalu ia mendorong Marina ke dinding RUKO.

Brama merobek celana dalamnya sendiri, lalu membiarkan kontol panjang dan tebalnya terbebas. Kali ini, Marina tidak hanya terbelalak; ia menjerit pelan melihat kontol itu sudah tegang, urat-uratnya terlihat jelas di bawah kulit yang gelap.

"Lihat ini, Rina. Lihat apa yang akan kamu rasakan di dalam memek kamu," ujar Brama, memamerkannya dengan bangga.

Marina langsung mengulurkan tangan, menggenggamnya, merasakan panas yang membakar telapak tangannya.

Inner Monologue (Marina): Ukuran ini... aku nggak akan pernah puas dengan yang lain lagi. Ini ketergantungan baru. Dan aku suka banget dikuasai kayak gini.

Brama memposisikan dirinya. Ia mengangkat satu kaki Marina, melilitkannya di pinggangnya, membuat wanita itu bertumpu pada kaki sebelahnya. Posisi ini membuat pinggul Marina terangkat, memek-nya terbuka lebar, dan dia bisa melihat segalanya.

SLURP!

Dengan satu dorongan yang dalam dan tanpa ampun, Brama memasukkan kontol panjangnya ke dalam memek Marina. Dorongan itu begitu mendadak dan dalam, membuat Marina menjerit keras. Suara itu teredam oleh angin kencang di atap.

"Ah! Brengsek! Itu dalam banget, Bram! Aku ngerasain kamu di perutku!" rintih Marina, sambil mencengkeram bahu Brama kuat-kuat.

"Dinding ini dingin, Sayang. Aku mau kamu ngerasain panasnya aku dari dalam," Brama berbisik di telinga Marina, lalu mulai menghentak.

Gerakan pertama dimulai dengan irama cepat, memecah keheningan atap. Kontol Brama menghantam dinding rahim Marina, mengeluarkan bunyi plepuk-plepuk yang eksplisit dan memabukkan.

"Ini hukuman karena kamu nggak sabar! Cepat! Cepat! Aku akan buat kamu muntah kenikmatan!" Brama mendominasi, sementara Marina hanya bisa menjeritkan nama Brama dan umpatan erotis lainnya.

Hot Talk (Brama): "Bilang aku milik kamu! Bilang kamu nggak akan bisa lepas dari kontol aku lagi! Teriak, Rina! Biar anginnya denger!"

Hot Talk (Marina): "Ah! Ya! Aku milik kamu! Ngentot aku, Bram! Ngentot aku sampai aku pingsan! Terus! Lebih kencang!"

Inner Monologue (Brama): Gue suka banget dominasi ini. Dia istri orang, tapi dia rela jadi budak birahi gue. Mando, kamu nggak tahu apa yang kamu lewatkan. Istrimu ini adalah ratu di ranjang, dan gue rajanya.

Marina merasakan gelombang kejang-kejang kenikmatan yang datang dengan cepat karena tempo yang brutal itu. Memek-nya berkontraksi kuat, memeras Brama dengan tenaga yang ia kumpulkan dari rasa frustrasinya selama ini pada Mando.

ORGASME PERTAMA (MARINA): "Ahhh! Bram! Aku keluar! Keluar! Lebih nikmat dari yang pertama!" jerit Marina, tubuhnya gemetar, kakinya yang melilit pinggang Brama kini mengencang, mengunci pria itu di dalam dirinya.

Brama hanya tertawa menang, lalu ia memperlambat irama, memberi Marina waktu untuk bernapas.

"Kamu cepat banget, Sayang. Tapi aku belum," kata Brama, kini menciumi leher Marina yang basah oleh keringat.

Ia lalu mengubah posisi, menurunkannya dari dinding, dan membawa Marina ke kursi kayu panjang di dekat pinggiran atap. Brama duduk di kursi, dan Marina didudukkan di atas pangkuannya, posisi ***************.

"Kita main santai lagi. Kamu yang pimpin. Kamu harus belajar mengontrol aku, Rina. Agar kamu tahu, kenikmatan ini benar-benar milik kamu," bisik Brama, sambil memegang kedua payudara Marina yang membesar, mengelus puting panjang yang sudah keras.

Marina mengangguk, napasnya tersengal. Ia mulai menggerakkan pinggulnya sendiri, mengocok kontol Brama di dalam memek-nya. Sensasi itu baru, ia bisa melihat reaksi Brama, dan ia bisa merasakan kedalaman kontol Brama yang menusuknya.

Inner Monologue (Marina): Ini sensasi kontrol. Aku yang mengatur irama. Aku yang menentukan kedalaman. Rasanya gila. Aku bisa ngeliat urat-urat di leher Brama menegang. Aku mendominasi dia dengan memekku.

Marina memimpin dengan gerakan memutar dan naik-turun, membuat kontol Brama menyentuh setiap dinding organ intimnya. Brama bersandar, memejamkan mata, menikmati pemandangan dan sensasi sentuhan Marina.

"Pelan, Rina. Jangan buru-buru. Aku suka ini. Aku suka kalau kamu yang pegang kendali," desah Brama.

Marina semakin berani. Ia mempercepat gerakannya, lalu ia tiba-tiba membungkuk, menciumi leher Brama, lalu berbisik.

Hot Talk (Marina): "Aku mau kamu keluar sekarang, Bram! Aku mau kamu muncrat di dalam aku! Jangan ditahan!"

Tantangan itu memicu sesuatu dalam diri Brama. Ia mencengkeram pinggul Marina, mengunci gerakannya.

"Kamu yang minta, Rina. Jangan salahkan aku kalau kamu nggak bisa jalan besok," balas Brama.

Brama kini yang mengambil kendali, mengangkat pinggul Marina ke udara dan mulai menusuk dari bawah dengan hentakan yang keras dan konsisten. Marina kembali menjerit, tahu bahwa orgasme kedua sedang menunggunya.

ORGASME KEDUA (MARINA): "Aku datang lagi! Bram! Cepat! Aku keluar! Keluar!" jerit Marina.

Kali ini, kejang-kejang Marina jauh lebih kuat dan lebih lama. Kontraksi memek-nya begitu kuat sehingga Brama tidak bisa menahan diri lagi.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): "Sialan! Aku juga datang, Rina! Memek kamu ngunci aku! Aku nggak tahan!" teriak Brama.

Kontol panjangnya terasa memompa, melepaskan gelombang air mani pertamanya yang panas, dalam dan melimpah ke dalam Marina. Mereka berdua roboh di kursi kayu. Napas mereka terengah-engah, dada mereka naik-turun.

"Gila... kamu hebat, Bram. Aku... aku nggak bisa gerak," kata Marina, mencoba mengatur napas.

"Itu baru permulaan, Sayang. Ingat, kamu udah janji sama aku," Brama balas berbisik, sambil mencium keringat di bahu Marina.

Mereka beristirahat selama beberapa menit di posisi itu. Angin atap kini terasa dingin di kulit mereka yang panas. Namun, gairah di mata Brama kembali menyala.

"Aku belum selesai, Rina. Aku janji akan membuatmu benar-benar puas," kata Brama, sambil menarik kontolnya keluar dari Marina, yang kini terasa licin dan basah.

Brama membalikkan Marina, menyuruhnya berlutut di depannya. Ia menciumi tubuh Marina dari leher hingga ke perut, memuja setiap inci kulitnya. Lalu, ia menurunkan celana dalamnya yang tadi ia tanggalkan, dan memaksa Marina untuk melihat kontolnya yang kini kembali menegang dan membesar, penuh janji untuk klimaks kedua yang lebih intens.

ORGASME KEDUA (BRAMA & MARINA): Brama kembali memposisikan dirinya, kini dalam posisi ***********. Ini adalah posisi yang paling ia sukai, karena ia bisa menekan pinggul Marina kuat-kuat.

Brama mengambil irama yang lambat, menekan dalam, lalu ia mulai memijat klitoris Marina dengan jari-jarinya.

"Kamu suka aku main di sini, kan, Sayang? Sambil aku ngentot kamu? Ini double pleasure," bisik Brama, suaranya sudah sangat serak.

Kombinasi antara tusukan yang dalam dari kontol panjangnya dan sentuhan jari di klitoris membuat Marina kehilangan akal sehatnya. Ia berteriak, sebuah teriakan kesenangan yang brutal.

"Aku nggak tahan! Bram! Aku mau keluar lagi! Ini gila! Terus, Sayang! Jangan berhenti!"

Brama mengintensifkan gerakan tangannya, berbarengan dengan hentakan pinggulnya.

"Aku akan buat kamu keluar sampai lemas, Rina! Kamu akan ingat rasa ini sampai kamu pulang dan berakting di depan Mando!" Brama berteriak, suaranya penuh kemenangan.

Marina merasakan gelombang kejang-kejang ketiga datang. Tubuhnya melonjak, dan ia menjeritkan nama Brama berulang kali. Kontraksi memek Marina kini begitu kuat dan cepat, membuat Brama tidak bisa menahannya lagi.

ORGASME KEDUA (BRAMA): Brama mencengkeram pinggul Marina, dorongan terakhirnya begitu dalam hingga ia menggeram seperti binatang. Ia memompa sisa air maninya, kali ini lebih banyak dan lebih panas dari yang pertama, ke dalam rahim Marina, memastikan ia benar-benar penuh.

Mereka berdua ambruk di atas lantai ***** yang dingin, dipisahkan hanya oleh handuk yang tadi Brama letakkan.

"Aku... aku cinta kontol kamu, Bram. Aku benci kamu," kata Marina, tertawa kecil.

Brama membalikkan badan, memeluk Marina yang lemas. "Aku juga cinta memek kamu, Rina. Dan kamu nggak benci aku. Kamu cuma benci kenyataan kalau kamu akan selalu kembali ke sini."

Setelah beberapa lama, mereka membereskan diri. Marina kembali mengenakan pakaiannya, mencium Brama dengan ciuman janji.

"Aku akan ingat hukum ranjang itu, Bram. Aku janji. Aku akan jadi istri yang puas di rumah, dan wanita simpananmu yang haus di sini," kata Marina, senyumnya kini menyimpan rahasia besar.

Marina turun dari atap, meninggalkan Brama sendirian yang kini menyalakan rokok dan memandang matahari terbenam.

Inner Monologue (Brama): Sempurna. Dia di tangan gue. Dia akan kasih gue kenikmatan tanpa batas, dan gue akan memastikan dia nggak akan pernah curiga. Permainan baru saja dimulai, Rina. Permainan ini tiada akhir.

Inner Monologue (Marina, dalam perjalanan pulang): Malam ini, aku akan memeluk Mando. Aku akan tersenyum. Dan dia nggak akan tahu, kalau kepuasan yang aku rasakan sekarang adalah sisa-sisa kontol panjang Brama. Aku nggak butuh lagi menuntut, karena aku sudah punya segalanya. Oh, nikmatnya selingkuh tiada akhir.@Barasaki 

October 7, 2025 5:48 PM

Administrator

 Bab 3: Umpan Manis di Kamar Suami

Sabtu, 20 Januari 1990

Langit Jakarta sore itu mendung, seperti hati Marina yang sedang mempersiapkan diri. Malam ini adalah Sabtu, 20 Januari 1990, malam yang sudah ia tunggu sekaligus ia takuti. Ia harus menjalankan Hukum Ranjang yang diamanatkan Brama: jangan menolak Mando, berikan kepuasan palsu, dan pertahankan kedok.

Dino, putranya, sudah tertidur pulas setelah kelelahan bermain bola di halaman. Mando, yang baru selesai siaran prime time di Nostalgia FM, tampak santai di sofa ruang tengah, membaca koran. Aroma kopi pahit dan wewangian cologne mahal Mando memenuhi ruangan.

Marina berjalan dari dapur, mengenakan daster sutra tipis berwarna merah marun. Daster itu adalah salah satu favorit Mando; tidak merobek pakaian adalah aturan Marina, dan daster ini mudah dibuka. Ia sengaja membiarkan bra-nya terlepas.

"Mando, capek ya? Mau Marina pijitin?" tawar Marina, suaranya dimanis-maniskan.

Mando menoleh. Matanya, yang selalu tenang, kini menunjukkan sedikit kejutan. Istrinya biasanya tidak se-inisiatif ini di akhir pekan.

"Uh, Rin? Oh, boleh. Tumben. Aku kira kamu sudah pulas," jawab Mando, meletakkan korannya.

Marina mendekat, memijat lembut pundak Mando, lalu merangkak ke pangkuannya. Ia mencium Mando dengan ciuman yang lambat, tapi di baliknya ia menyimpan kenangan tentang ciuman brutal Brama di atap RUKO yang berangin.

Inner Monologue (Marina): Maaf Mando. Aku harus main peran. Ciuman kamu ini rasanya tawar. Aku cuma ingat betapa liar lidah Brama menekan lidahku. Cepat selesai, Mando. Aku nggak mau malamku terbuang.

Mando merespons perlahan. Ia meraba pinggang Marina yang kecil, mengagumi perut datar istrinya. Ia mengangkat daster sutra Marina, dan dengan napas tertahan, ia kembali melihat pemandangan yang selalu membuatnya bangga: payudara jumbo Marina dengan puting agak panjang, yang kini sudah menegang hanya karena sentuhan Mando yang dingin.

"Rin... kamu indah," bisik Mando, lalu ia mencium puting Marina.

Ciuman itu lembut, penuh kasih sayang, tapi kurang hasrat. Marina bisa merasakan Mando sudah terangsang hanya karena visual, bukan dari api birahi yang membakar.

Marina membantu Mando. Ia menarik celana tidur Mando dan membebaskan kontol suaminya. Ukurannya normal, tapi hari ini terasa sangat kecil di tangan Marina. Ia menciumnya sejenak, membuat Mando tersentak senang.

Mereka pindah ke kamar tidur. Lampu diredupkan, hanya menyisakan cahaya rembulan yang masuk dari jendela. Mando membaringkan Marina di ranjang, lalu ia naik, memposisikan dirinya di atas Marina.

Mando memulai dengan lambat, mencium Marina, lalu ia mencari lubang memek istrinya yang sudah basah oleh pelumas alami Marina—sebuah respons otomatis yang menjengkelkan Marina.

Srek!

Kontol Mando masuk. Rasanya kosong. Tidak ada sensasi peregangan yang menyakitkan sekaligus memuaskan seperti yang ia rasakan dengan Brama. Hanya ada rasa biasa saja.

Inner Monologue (Marina): Oh, ampun. Nggak ada tekanan. Nggak ada sensasi kedalaman. Ini kayak cuma menggaruk permukaan. Jangan sampai aku tiba-tiba bilang 'Bram' di sini. Fokus, Marina. Akting!

Mando mulai menghentak dengan irama yang rutin, tanpa variasi. Kepalanya sibuk memikirkan laporan keuangan kantor atau playlist siaran pagi, bukan sensasi tubuh Marina.

Marina mulai menjalankan aksinya. Ia mencengkeram bahu Mando, memejamkan mata, dan mulai mendesah palsu. Desahan itu dimulai pelan, lalu perlahan ia naikkan volumenya, meniru suara yang ia buat ketika Brama ngentot dirinya dengan brutal.

Hot Talk (Palsu - Marina): "Mmmh... Mando... ya, Sayang... Aku suka... Terus... Ah!"

Desahan palsu itu bekerja sempurna. Mando, yang memang sudah turun nafsunya, langsung merespons dengan sedikit peningkatan tempo, merasa bangga bahwa ia masih bisa memuaskan istrinya yang jumbo ini.

Gerakan Mando memburu, tapi hanya sebentar. Marina tahu ini sebentar lagi berakhir.

Inner Monologue (Mando): Rin puas. Aku tahu dia puas. Aku masih hebat. Walaupun sebentar, tapi dia sudah menjerit. Syukurlah, besok aku nggak perlu pusing-pusing lagi soal urusan ranjang. Aku bisa fokus ke radio.

KLIMAKS (MANDO): Mando menggeram pelan, lalu dalam tiga hentakan cepat, ia ambruk di atas Marina. Kontolnya melepaskan air mani terakhir, dan ia terasa lemas.

Marina harus menyelesaikan dramanya. Ia memeluk Mando erat-erat, seolah kelelahan luar biasa.

AKTING ORGASME (MARINA): "Oh... Mando... kamu... kamu yang terbaik. Aku nggak bisa napas," bisik Marina, suaranya serak karena akting yang total.

Mando mengecup kening Marina, lega. "Tidur, Rin. Mimpi indah. Aku senang kamu puas."

Inner Monologue (Marina, setelah Mando tertidur): Puas? Aku bahkan nggak dapat satu persen dari kepuasan Brama. Ini penghinaan. Aku kotor. Aku harus segera dibersihkan. Aku harus segera telepon Brama. Aku nggak bisa menunggu sampai Dino pulang sekolah.

Marina menyelinap keluar dari ranjang. Ia pergi ke ruang kerja, mencari invoice fiktif, lalu mengirimkan pesan tersandi ke Brama lewat pager bisnisnya.

Pesan ke Brama (Tersandi): Buku Enny Arrow kuota 20 sudah diterima Mando. Tapi... ada revisi di Bab 3. Perlu segera di-edit.

Brama tahu kode itu. Mando sudah ngentot, dan Marina butuh pelampiasan yang sebenarnya.

Minggu, 21 Januari 1990

Pagi hari, pukul 08:30 WIB.

"Pa, Dino mau lihat siaran Papa, ya? Papa bilang ada musisi jadul datang," pinta Dino.

"Oh, tentu, Jagoan. Tapi kamu janji nggak boleh berisik di studio, ya," jawab Mando, senang.

Ini adalah kesempatan emas. Marina menyiapkan bekal untuk Dino, lalu mencium Mando dengan ciuman selamat tinggal yang tulus—tulus karena ia akan segera mendapatkan kepuasan sejatinya.

Pukul 09:00 WIB, Marina sudah memarkir mobilnya di depan RUKO YORASAKI. Ia mengenakan celana jins ketat yang menonjolkan pantat bahenolnya dan kaus ketat yang sengaja memperlihatkan lekuk payudara jumbo-nya. Hari ini, ia datang sebagai wanita jalang yang haus milik Brama.

Brama sudah menunggu di lantai dua. Ia hanya mengenakan celana pendek longgar. Wajahnya berseri-seri, matanya dipenuhi gairah.

"Kamu datang, Rina. Aku tahu kamu nggak bisa menolak," sapa Brama, lalu memeluk Marina erat-erat.

Marina memeluknya kembali, merasakan dada Brama yang keras menempel di payudara jumbo-nya.

"Aku harus dibersihkan, Bram. Kontol Mando cuma meninggalkan sisa ampas," bisik Marina, jujur.

Brama mencium Marina, ciuman itu dalam dan menuntut. Ia menciumnya seperti orang kelaparan yang akhirnya menemukan makanan. Ciuman Brama menghapus sisa sentuhan Mando.

"Aku tahu. Aku bisa mencium bau akting di napas kamu, Rina. Jangan khawatir. Aku akan cuci kamu sampai bersih," janji Brama.

Brama tidak meraba-raba. Ia langsung menarik Marina ke kamar tidurnya yang ada di lantai dua. Kamar itu kecil, tapi ranjangnya besar.

"Di ranjang. Aku mau kamu melihat mata aku saat aku membersihkan kamu," perintah Brama.

Marina tidak melawan. Ia dengan cepat menanggalkan pakaiannya. Kaus dan jins ketatnya meluncur ke lantai. Ia kini berdiri telanjang, memamerkan tubuhnya yang mempesona. Pantat bahenolnya terlihat sempurna.

Brama berdiri, mengambil napas, mengagumi. "Ya Tuhan. Kamu harusnya telanjang selamanya, Rina. Memek kamu kelihatan basah banget. Aku tahu kamu bohongin dia semalaman."

Brama menarik celana pendeknya, dan kontol panjang yang penuh urat dan tegang itu kembali menyambut Marina.

Inner Monologue (Brama): Gue harus buat dia lupa sama Mando. Sentuhan gue harus brutal, tapi juga penuh kenikmatan. Dia datang ke sini buat 'pembersihan' dosa.

Brama memposisikan Marina di ranjang, posisi missionary dengan kaki Marina ditarik ke atas, melilit di bahu Brama. Posisi ini memaksa memek Marina terbuka lebar, dan kontol panjang Brama bisa menembus sangat dalam, mencapai rahim Marina.

"Lihat aku, Rina. Ini yang asli. Rasakan kedalamannya. Rasakan kontol ini di dalam kamu," Brama memerintah, lalu ia mendorongnya masuk.

SLUUUURP!

Dorongan itu begitu dalam hingga Marina menjerit histeris. Suara itu teredam bantal, tapi Marina tidak peduli. Seluruh tubuhnya tegang.

"Ah! Ya! Dalam! Dalam banget, Bram! Ini baru namanya ngentot! Sakit... tapi ini nikmat!" rintih Marina, air mata kenikmatan membasahi pelipisnya.

Brama mulai menghentak dengan irama lambat, lalu beralih ke cepat, brutal, dan konsisten. Kontol Brama menghantam memek Marina, membuat tulang pinggul mereka beradu dengan bunyi dup-dup yang memabukkan.

Hot Talk (Brama): "Ini hukuman karena kamu biarin kontol dia masuk ke memek sempurna ini! Rasakan! Aku akan memaksamu jadi perawan lagi! Aku akan hapus jejak dia!"

Hot Talk (Marina): "Hapus! Hapus dia, Bram! Ngentot aku sampai kamu puas! Aku jalang kamu! Aku nggak mau kontol lain! Cuma kontol panjang kamu!"

Hentakan itu, ditambah dengan kata-kata dominan Brama, membuat Marina mencapai puncak dengan cepat. Ia melepaskan semua frustrasi dari malam kemarin.

ORGASME PERTAMA (MARINA): "Ahhhhh! Keluar! Aku keluar! Keluar! Aku bersih, Bram! Aku bersih!" Marina menjerit, tubuhnya bergetar liar, kakinya mengencang di bahu Brama. Memek-nya berkontraksi kuat, mencoba memeras Brama.

Brama hanya tersenyum puas, tapi ia tidak berhenti. Ia memperlambat iramanya, menikmati kejang-kejang Marina, lalu ia menarik kontolnya keluar, hanya menyisakan kepalanya yang masih di dalam.

"Belum, Sayang. Aku bilang, aku akan kasih kamu yang sempurna. Ini baru ronde pembersihan," bisik Brama.

Ia membalikkan Marina, menyuruhnya berlutut, lalu ia melumuri payudara Marina dengan pelumas alami dari memek Marina.

"Sekarang, aku yang kontrol. Kamu nikmatin," kata Brama, lalu ia mendorong kontolnya masuk lagi dari belakang, posisi ***********.

Brama mencengkeram pantat bahenol Marina, menekannya kuat-kuat. Hentakannya kini lebih bertenaga, lebih dalam, lebih fokus pada titik G-spot Marina.

"Aku akan buat kamu muntah yang kedua, Rina. Sampai kamu nggak bisa ingat nama Mando," Brama berbisik.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan. Kenikmatan ini terlalu gila. Jarak antara Mando dan Brama itu sejauh bumi dan langit. Aku rela jadi jalang di sini daripada jadi ratu yang kelaparan di rumah. Mando, kamu nggak akan pernah tahu ini.

Brama mengintensifkan iramanya, sementara tangannya mencari klitoris Marina dan menggeseknya dengan ibu jari yang kasar. Double pleasure yang brutal.

Marina mulai menangis karena kenikmatan. Ia menjerit nama Brama berulang kali.

Hot Talk (Marina): "Bram! Cepat! Aku nggak tahan! Jangan berhenti! Ini gila! Kontol kamu sempurna! Aku mau kamu keluar di dalam aku sekarang juga!"

Tantangan itu memicu Brama. Ia merasa birahinya sudah di puncaknya. Ia ingin melepaskan semua air maninya, memenuhi Marina, dan memastikan ia benar-benar dimiliki.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): Brama mengerang keras, sebuah suara yang kasar dan serak. Ia mencengkeram pinggul Marina, dan dorongan terakhirnya begitu dalam.

"Aku datang, Rina! Ambil ini! Semuanya milik kamu! Aku akan penuhi kamu!" teriak Brama.

Air mani Brama yang panas dan melimpah membanjiri rahim Marina, memberinya kejang-kejang yang tak tertahankan. Bersamaan dengan muncratan Brama, tubuh Marina kembali melonjak, ia mencapai klimaks kedua yang lebih kuat. Kontraksi memek-nya begitu kuat, mengunci kontol Brama yang baru saja lemas.

Mereka berdua ambruk. Brama menindih Marina, berat tubuhnya terasa hangat dan nyaman. Marina tidak keberatan. Ia merasa penuh. Ia merasa sempurna.

"Nah, sekarang, kamu sudah bersih. Sudah puas?" tanya Brama, napasnya terengah-engah.

"Lebih dari puas, Bram. Aku nggak akan bisa jalan besok," jawab Marina, tertawa kecil.

Brama mencium Marina. "Bagus. Sekarang, aku mau kamu pulang. Peluk Mando. Senyum ke dia. Dan ingat, nafkah batin sejatimu cuma ada di RUKO YORASAKI. Dan urusan finansial buku itu... anggap saja itu biaya kebersihan."

Marina kembali mengenakan pakaiannya, yang kini terasa sedikit longgar karena badai hasrat.

Inner Monologue (Marina, saat menuruni tangga): Dino pasti lagi asyik sama Mando. Mereka nggak akan pernah tahu, kalau Mamanya baru saja mendapatkan kepuasan ganda di toko buku.*

Marina meninggalkan RUKO YORASAKI dengan langkah penuh percaya diri, siap menjalani perannya sebagai istri CEO yang baik, sampai panggilan birahi berikutnya datang.

Inner Monologue (Brama, di lantai dua): Dia menuruti hukumku. Dia akan kembali. Dia adalah tambang emas dan tambang hasratku. Selingkuh tiada akhir? Ya, selamanya.@Barasaki 

October 9, 2025 5:59 PM

Administrator

Bab 4: Kontrol di Balik Keramaian

Selasa, 23 Januari 1990

Tiga hari berlalu sejak sesi "pembersihan" di kamar Brama. Bagi Marina, waktu kini terbagi menjadi dua: waktu yang membosankan dan waktu yang berapi-api. Waktu yang membosankan adalah saat ia di rumah bersama Mando—suaminya yang semakin tidak peka dan makin sibuk di radio. Waktu yang berapi-api adalah setiap momen yang ia rencanakan untuk bertemu Brama, yang kini sudah menjadi kebutuhan biologis mutlak.

Mando, merasa Marina semakin manis dan tidak menuntut—berkat aktingnya yang sempurna—mengumumkan kabar gembira.

"Rin, malam Jumat ini kita ada acara penting. Pesta Anugerah Radio Swasta Jakarta. Aku masuk nominasi 'Pembawa Acara Terbaik'. Kita harus datang," kata Mando, sambil mencium Marina dengan singkat sebelum pergi ke kantor.

Marina tersenyum palsu. Sebuah pesta? Gaun malam? Keramaian? Pikirannya langsung tertuju pada Brama. Apakah aku harus bertemu Brama lagi sebelum pesta itu? Aku nggak akan kuat berlama-lama bersikap anggun tanpa 'suntikan' energi dari dia.

Benar saja, sore itu ia kembali merasakan gelisah. Gelisah yang hanya bisa ditenangkan oleh satu hal. Marina mencari alasan baru, bukan buku, tapi sebuah proposal kerjasama cross-promotion radio dan toko buku. Alasan yang kedengarannya profesional.

RUKO YORASAKI – Rabu Sore

Brama menatap Marina yang masuk dengan wajah tegang. Ia tahu, Marina datang bukan untuk bicara bisnis.

"Kenapa, Rina? Kamu terlihat kotor lagi. Mando minta jatah lagi, ya?" tanya Brama, langsung menusuk.

Marina merosot ke sofa. "Aku nggak bisa bohongin kamu, Bram. Aku... aku benci banget disentuh Mando. Malam Minggu dia minta lagi, dan aku harus akting orgasme selama tiga menit. Itu penghinaan buat memek aku!"

Brama tertawa terbahak-bahak. Tawa itu dominan, penuh kemenangan. "Itulah yang aku mau. Kamu nggak boleh puas sama dia, biar kamu selalu ingat, aku yang pegang kendali atas hasratmu."

Brama mendekat, mencium Marina dengan kasar, lalu ia memegang kedua payudara Marina yang membusung di balik blus ketat.

"Besok malam, kita akan ketemu di Balai Samudra, kan? Pesta Radio itu," ujar Brama.

Marina terbelalak. "Kamu tahu? Kenapa?"

"Aku punya beberapa teman publisher yang datang. Aku harus ikut networking. Jadi, kamu akan datang sebagai istri Mando, dan kamu akan jadi wanita jalangku di sana. Aku mau kamu merasakan birahi yang paling berbahaya," bisik Brama, matanya bersinar jahat.

"Berbahaya? Maksudmu?" tanya Marina, tubuhnya mulai gemetar, campuran rasa takut dan gairah.

"Ya. Malam ini, aku akan buat kamu penuh. Sampai kamu nggak bisa ngerasain apa-apa selain aku. Dan besok malam, aku akan memanen hasil kerja kerasku, di tempat yang nggak pernah kamu duga," janji Brama.

Brama tidak menunggu persetujuan. Ia langsung menarik Marina ke kamar, dan mereka berdua terlibat dalam sesi ngentot yang lebih brutal dan eksplisit dari sebelumnya, sebagai "pengisian amunisi" sebelum operasi rahasia di pesta besar.

Balai Samudra, Jumat Malam

Ruangan ballroom mewah itu dipenuhi puluhan pasangan dari kalangan industri media dan bisnis. Lampu kristal berkelip, musik jazz mengalun elegan. Marina mengenakan gaun malam biru gelap, anggun dan mempesona. Ia adalah istri seorang nominasi, jadi dia adalah perhatian malam itu.

Mando, bangga di sampingnya, sibuk menyapa relasi.

"Rin, aku ke sana sebentar ya. Mau ketemu produser Radio Pelita. Kamu tunggu di sini," ujar Mando, mengecup kening Marina.

Marina berdiri sendirian, memegang gelas sparkling water sambil tersenyum terlalu manis pada setiap orang yang melintas. Ia berusaha keras terlihat sebagai wanita bahagia yang berkelas.

Tiba-tiba, jantung Marina mencelos. Di seberang ruangan, di meja bundar dekat panggung, ia melihat Brama.

Brama tampak jauh berbeda. Ia mengenakan setelan jas abu-abu mahal, rambutnya disisir rapi, tampak seperti pebisnis sukses yang ramah. Ia sedang tertawa bersama seorang pria paruh baya yang Marina duga adalah salah satu publisher besar.

Mata Brama dan Marina bertemu.

Brama tidak tersenyum. Ia hanya mengangkat alisnya sedikit, sebuah isyarat kecil yang mengirimkan gelombang panas ke memek Marina.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan, dia mengendalikan aku dari jarak 20 meter. Aku bisa merasakan bekas kontol dia yang semalam masih berdenyut di dalam aku. Aku harus pura-pura nggak kenal dia.

Marina mengalihkan pandangan, tapi ia tahu Brama terus mengamatinya.

Sepuluh menit kemudian, pager di dompet Marina bergetar. Itu nomor Brama.

Pesan dari Brama (Tersandi): Revisi Bab 4. Aku tunggu di gudang bunga, area servis dekat toilet wanita. Lima menit. Sendirian.

Napas Marina tercekat. Gudang bunga? Area servis? Sekarang? Di tengah pesta ini? Ini gila. Ini melanggar semua aturan kewarasan, tapi... ini adalah tantangan Brama, dan ini adalah bayaran yang dijanjikannya.

Ia harus pergi.

Marina menunggu hingga Mando terlihat sedang berbicara intens dengan penyiar senior. Ia menyelinap.

"Permisi, saya mau ke toilet sebentar," ia berbisik pada asisten Mando yang berdiri di dekatnya.

Marina berjalan cepat, melewati toilet wanita, lalu masuk ke area servis. Lorongnya sepi, berbau karbol dan sisa makanan pesta. Di ujung lorong, ada pintu dengan tulisan GUDANG BUNGA.

Marina membuka pintu itu perlahan.

Di dalam, gelap, hanya ada cahaya redup dari lampu lorong yang masuk dari bawah pintu. Gudang itu dipenuhi vas, tumpukan kotak, dan di tengahnya, terdapat rak besar berisi bunga-bunga segar yang belum dipajang.

Brama sudah berdiri di sana, tanpa jas. Ia hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjangnya. Matanya gelap, penuh hasrat yang berbahaya.

"Kamu datang. Aku tahu kamu nggak bisa menolak," bisik Brama.

"Bram! Ini gila! Mando di luar. Bagaimana kalau ada yang lihat?" Marina berbisik balik, nadanya gugup.

"Itulah indahnya. Kita ngentot di tengah bahaya. Itu akan terasa seribu kali lebih nikmat," kata Brama.

Brama mendorong Marina ke rak bunga yang dingin. Aroma mawar dan lily memenuhi ruangan. Brama mencium Marina dengan terburu-buru, ciuman yang mematikan dan menuntut.

"Kamu tahu kenapa aku panggil kamu ke sini?" desah Brama di telinga Marina. "Aku mau kamu merasakan dominasiku di lingkungan Mando. Aku mau kamu ingat, kamu milik aku, bahkan saat kamu tersenyum di samping dia."

Tanpa membuang waktu, Brama menarik zipper celana panjangnya. Kontol panjang itu menyembul, sudah tegang dan basah, penuh janji kenikmatan yang terlarang.

Marina tidak bisa menahan diri. Melihat kontol itu di lingkungan yang begitu berisiko membuat memek-nya langsung basah kuyup. Ia membuka gaun malamnya yang mahal, membiarkan gaun itu melorot ke pinggang.

"Aku nggak tahan, Bram. Tolong... Ngentot aku! Sekarang!" pinta Marina, suaranya mengandung campuran keputusasaan dan gairah.

Brama memposisikan Marina dalam posisi standing doggy. Ia menyuruh Marina bersandar pada rak bunga, kedua tangannya mencengkeram bunga-bunga yang dingin.

"Kamu harus cepat. Ini hadiah untuk keberanianmu," bisik Brama.

Brama mendorong kontolnya dengan satu hentakan yang keras dan dalam.

PLOP!

Marina menjerit tertahan ke arah bunga, air matanya membasahi kelopak mawar. Sensasi ngentot di gudang dingin, hanya beberapa meter dari suaminya, terasa gila.

Brama memulai hentakannya dengan cepat dan brutal. Ia tidak peduli dengan irama, ia hanya peduli dengan kedalaman.

Hot Talk (Brama): "Rasakan! Ini kontol yang kamu butuhkan! Bukan yang lemah di rumah! Aku mau kamu ingat aku tiap kali Mando cium kamu! Aku mau kamu muncrat di sini!"

Hot Talk (Marina): "Ah! Ya! Aku muncrat! Aku muncrat! Lebih cepat! Aku jalang kamu, Bram! Aku jalang yang rela mati buat kontol kamu!"

Hentakan Brama begitu cepat dan kuat. Aroma bunga bercampur dengan aroma keringat dan birahi. Marina merasakan orgasme datang dengan cepat, jauh lebih cepat dan lebih intens karena adrenalin.

ORGASME PERTAMA (MARINA): "Aku keluar! Aku keluar! Gila! Aku keluar lagi! Di sini! Di pesta Mando!" jerit Marina, tubuhnya gemetar, kakinya melemah.

Brama menyeringai menang. Ia tidak berhenti. Ia memegang pinggul Marina kuat-kuat, lalu ia memperlambat irama.

"Sekarang giliran aku. Kamu harus ambil air mani aku sebagai tanda kepemilikan," perintah Brama.

Brama memperdalam dorongannya, menusuk rahim Marina berulang kali.

Inner Monologue (Brama): Gue harus tandai dia. Dia harus kembali ke Mando dengan sperma gue di dalam rahimnya. Itu bukti kalau dia milik gue, sepenuhnya. Dia nggak akan bisa lepas.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): Brama mengerang keras, sebuah suara yang kasar dan tertekan. Ia menarik Marina mendekat, dorongan terakhirnya begitu kuat hingga Marina merasakan air mani panas membanjiri bagian terdalam tubuhnya.

"Ya! Aku penuhi kamu! Pulang sekarang, Rina. Senyum untuk Mando. Dan ingat, kontol aku sudah di dalam kamu. Selamanya," bisik Brama.

Brama menarik kontolnya keluar. Suara pop basah terdengar jelas di keheningan gudang bunga.

Marina berdiri terhuyung. Gaunnya sudah diturunkan. Ia merapikan rambut dan make-up-nya dengan cepat.

"Sampai jumpa lagi, Bram," bisik Marina, matanya basah, tapi senyumnya mematikan.

"Sampai jumpa di Bab 5, Sayang. Jangan lupa ceritakan padaku bagaimana rasanya kembali ke ranjang Mando setelah ini," balas Brama.

Marina bergegas kembali ke ballroom. Ia menemukan Mando di panggung, baru saja menerima piala untuk nominasi "Pembawa Acara Terbaik".

"Rin! Kamu di mana saja? Aku menang! Kita menang!" seru Mando, memeluk Marina.

Marina membalas pelukan Mando, tersenyum lebar dan tulus, senyum yang disempurnakan oleh kepuasan brutal beberapa menit yang lalu.

Inner Monologue (Marina): Aku baru saja ngentot dengan selingkuhanku di gudang bunga, Mando. Dan aku bahagia. Aku bahagia karena kontol Brama masih di dalam diriku. Selamat, Sayang. Aku bangga pada kamu.

Marina memeluk Mando, menikmati kemenangan suaminya, sementara ia tahu, di balik gaun mahalnya, ia membawa rahasia yang jauh lebih liar.

Inner Monologue (Brama, dari jauh): Dia wanita gue. Dan dia akan selalu jadi wanita gue. Pesta ini milik Mando, tapi Marina, dia milik gue.@Barasaki 

October 9, 2025 6:02 PM

Administrator

Bab 5: Minyak Pelumas dan Kontrol Ganda

Senin, 29 Januari 1990

Senin adalah hari neraka bagi Marina. Rapat koordinasi kantor, tumpukan invoice yang harus ia urus, dan tuntutan para reseller yang tak ada habisnya. Namun, di balik kelelahan itu, ada api kecil yang terus membara di benaknya, api yang hanya bisa dipadamkan oleh satu pria. Hari itu, ia benar-benar merasa tubuhnya melar karena beban kerja dan stres. Perasaan ini diperparah oleh kesadaran bahwa ia sudah berusia 34 tahun, seorang Mama, dan suaminya, Mando, bahkan tidak lagi peduli dengan detail-detail tubuhnya.

Pukul 17:30 WIB, Marina selesai. Ia memaksakan senyum ramah pada rekan kerjanya, lalu langsung tancap gas menuju Toko Buku YORASAKI. Ia tidak perlu membuat alasan bisnis hari ini; Brama sudah tahu ia datang saat ia mengirim pager berisi kode ‘Aku butuh stok novel baru’ tadi pagi. Brama merespons dengan singkat, ‘Aku tunggu. Jangan buru-buru.’

Jalanan Jakarta sore itu padat, tapi pikiran Marina lebih padat oleh bayangan kontol panjang Brama. Sejak adegan gila di gudang bunga Balai Samudra, ketergantungannya pada Brama semakin tidak waras. Itu bukan lagi sekadar nafsu, itu adalah kebutuhan untuk merasa diakui dan dikuasai.

Marina memarkir mobilnya. Saat ia masuk ke Toko Buku YORASAKI di lantai bawah, suasana toko tampak tenang. Aroma kertas, debu, dan kayu yang khas langsung menyambutnya. Di meja kasir, bukan Brama yang menyambutnya, melainkan seorang remaja laki-laki, wajahnya serius, kacamatanya melorot, sibuk menulis di buku tebal.

"Sore, Kak. Maaf, Kak Brama sedang keluar sebentar. Ada perlu apa ya?" tanya remaja itu, suaranya sopan, tapi matanya tidak lepas dari buku.

"Sore. Saya Marina. Saya ada janji dengan Brama. Dia pergi ke mana?" jawab Marina, sedikit kecewa.

"Oh, Kak Marina. Tadi Kak Brama bilang mau ambil barang di gudang belakang, lalu dia ke ATM sebentar. Silakan duduk di meja tamu di belakang, Kak. Namaku Bentar," kata Bentar, kembali fokus pada bukunya.

Marina tersenyum kecil. Ia menuju meja tamu di pojok belakang yang memang disiapkan Brama untuk pertemuan bisnis (dan personal) yang lebih privat. Di meja itu ada tumpukan majalah dan beberapa novel dewasa Enny Arrow yang sudah ia sediakan. Ia duduk, menunggu, sambil memperhatikan Bentar.

Inner Monologue (Marina): Lihat, anak ini. Seharusnya dia jaga toko. Tapi dia malah kerjain PR. Ya ampun, zaman 90-an ya begini. Brama memang santai. Untung nggak ada yang curiga kalau di lantai atas itu ada sarang birahi.

Lima belas menit berlalu. Marina mulai gelisah. Memeknya terasa berdenyut, menuntut. Tiba-tiba pintu RUKO terbuka, dan masuklah Brama dengan kaus oblong hitam dan celana jins yang sudah lusuh. Ia membawa dua kantong plastik.

"Kak Brama, ada Kak Marina di belakang," lapor Bentar tanpa menoleh.

Brama hanya mengangguk, meletakkan kantong belanjaannya, lalu berjalan menghampiri Marina.

"Maaf telat, Rina. Tadi ada urusan bank yang harus diurus. Gimana? Udah kangen banget ya sampai nggak sabar?" sapa Brama, senyumnya menyiratkan janji panas.

"Gila! Kamu malah ke ATM! Aku udah nunggu 15 menit, Bram! Lagian, itu pegawai kamu lho, bukannya kerja, malah ngerjain tugas sekolahnya," keluh Marina, menunjuk Bentar dengan dagunya.

Brama menoleh ke arah Bentar, yang pura-pura tidak mendengar.

"Oh, Bentar. Nggak apa-apa, Rina. Itu bagus, kerja sambil belajar. Dia anak pintar, dan jujur. Daripada aku dapat pegawai mata duitan yang curi uang kas. Lagipula, toko ini kan toko buku, harus mendukung pendidikan," jawab Brama, lugas.

Brama lalu mengulurkan tangan. "Yuk, Sayang. Kekosongan kamu sudah menanti isian sempurna. Ke atas."

Mereka berjalan menaiki tangga. Marina mengikuti langkah Brama, pantat bahenolnya bergoyang pelan. Brama menyadari tatapan Marina.

"Jangan lihat pantat aku terus, Rina. Nanti kamu nggak konsen," goda Brama.

"Gimana mau konsen? Kontol kamu udah bikin aku lupa sama rumah, sama Mando, sama semuanya!" balas Marina, galak, tapi suaranya penuh birahi.

Saat mencapai bordes lantai dua, Brama tiba-tiba berhenti. Ia meraih kantong plastik yang ia bawa.

"Rina, sebentar. Aku ada hadiah buat kamu," kata Brama, wajahnya tiba-tiba berubah serius, memancarkan aura perhatian yang licik.

Brama mengeluarkan botol kecil berisi minyak bening dengan aroma rempah yang lembut.

"Ini minyak herbal. Ini campuran rempah alami yang aku racik. Aku perhatikan, di usia kamu ini, terutama setelah melahirkan Dino, payudara itu kan butuh perawatan ekstra," Brama memulai, matanya menatap lekat pada payudara jumbo Marina.

Wajah Marina langsung merona merah. Ia merasa malu sekaligus terharu, karena ini adalah sentuhan perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari Mando. Mando hanya mengagumi bentuk payudaranya, tidak pernah peduli dengan perawatannya.

"Ini... buat apa, Bram?" tanya Marina, suaranya tercekat.

"Ini bisa membuat payudaramu tetap berbentuk padat, tidak melar alias kendor. Pijat teratur dengan minyak ini, dan payudara jumbo kamu akan tetap jadi payudara jumbo yang kencang. Aku nggak suka melihat aset kesayanganku jadi layu, Rina. Jadi, ini buat kita berdua. Kamu senang, aku lebih senang," jelas Brama, nadanya mencampurkan dominasi dan kepedulian.

Inner Monologue (Marina): Dia nggak cuma peduli sama hasratku, dia peduli sama body-ku. Dia mengontrolku bahkan sampai ke perawatan tubuh. Sialan. Aku makin jatuh cinta sama brengsek ini.

"Kamu serius?"

"Aku nggak pernah main-main soal kenikmatan. Dan payudaramu adalah gerbang kenikmatan. Mari kita coba di kamar," Brama tersenyum jahat, lalu menarik Marina masuk.

KAMAR TIDUR BRAMA

Marina langsung didorong ke ranjang, di atas seprai yang kali ini berwarna cokelat gelap. Tidak ada lagi basa-basi. Brama langsung menanggalkan kaus dan celana jinsnya. Kontol panjang Brama menyembul, sudah tegang sempurna, penuh dengan urat yang menjanjikan.

Marina menanggalkan pakaiannya dengan cepat, gaun kerjanya meluncur ke lantai. Ia telanjang, berbaring di ranjang, memamerkan tubuhnya yang mulus, perut datar, dan pantat bahenol yang menantang.

Brama duduk di samping Marina, mengambil botol minyak herbal itu. Ia menuangkan sedikit di telapak tangannya, menggosoknya hingga hangat. Aroma rempah yang pedas dan hangat langsung memenuhi ruangan.

"Aku akan buat kamu gila, Rina. Aku akan buat kontol ini masuk ke memek kamu, sementara tanganku merawat aset yang paling aku suka," bisik Brama, suaranya parau.

Brama mendekat, ia memposisikan dirinya di antara kedua kaki Marina. Lalu, dengan satu gerakan sensual yang lambat, ia mulai mengoleskan minyak herbal itu ke seluruh permukaan payudara jumbo Marina. Tangannya bergerak memutar, memijat, memastikan minyak meresap.

Sensasi pijatan yang lembut dan hangat itu membuat Marina merinding. Ia memejamkan mata, menikmati perawatan yang asing ini.

Inner Monologue (Marina): Tangan ini... seharusnya meremas, bukan memijat. Tapi ini nikmat. Kelembutan dan perhatian di payudaraku, sementara dia... dia akan merusakku di bawah sana. Dualitas yang sempurna.

Brama mengintensifkan pijatannya, terutama di sekitar puting panjang Marina yang sudah menegang.

"Puting kamu ini, Rin, pink mudanya bikin aku gemes. Aku nggak mau dia melorot. Dia harus tegak. Tegak kayak kontol aku sekarang," desah Brama, sambil memainkan puting Marina dengan jari.

Saat Marina sedang sibuk menikmati pijatan sensual itu, Brama tiba-tiba mengangkat pinggul Marina dengan satu tangan. Ia menemukan lubang memek Marina yang sudah basah oleh hasrat yang tertahan.

Sluurrpp!

Dengan satu hentakan cepat, Brama mendorong kontol panjangnya masuk ke dalam memek Marina. Dorongan itu begitu dalam, menghantam titik terdalam, mengejutkan Marina di tengah keasyikan pijatan.

"Ah! Brengsek! Itu dalam!" rintih Marina, suaranya tercekat.

Brama tidak berhenti memijat. Ia mulai menggenjot pinggulnya ke selangkangan Marina. Gerakannya kali ini tidak brutal seperti di gudang bunga, melainkan rhythm yang konsisten, dalam, dan fokus. Kontras antara tangan yang memijat lembut dan pinggul yang menggenjot keras menciptakan kenikmatan yang gila.

Hot Talk (Brama): "Rasakan, Rina. Lembut di atas, keras di bawah. Memek kamu ngejepit aku. Aku suka kamu ngentot sambil aku rawat aset kamu. Kamu cantik, Sayang. Aku nggak mau kamu layu!"

Hot Talk (Marina): "Jangan berhenti! Pijat terus! Aku suka kamu pegang payudaraku sambil ngentot aku! Ini gila! Kontol kamu sempurna! Aku mau keluar! Aku mau muncrat!"

Setiap hentakan Brama terasa seperti tusukan api, sementara pijatan minyak herbal itu terasa seperti es yang menenangkan, membuat Marina benar-benar kehilangan kendali atas tubuhnya. Otaknya hanya fokus pada dua sensasi: panas mendalam di ******, dan kelembutan hangat di payudara.

Inner Monologue (Brama): Gue udah kuasai dia. Dia nggak bisa mikir lain-lain selain gue. Payudara dia ini istimewa. Harus gue rawat. Jadi, kalau Mando lihat, dia makin yakin kalau istrinya puas sama dia. Padahal yang puas itu kontol gue.

Marina merasakan gelombang kejang-kejang pertama. Irama Brama yang konsisten dan dalam, didukung oleh sentuhan di payudara, membuatnya mencapai klimaks dengan cepat.

ORGASME PERTAMA (MARINA): "Aku keluar! Bram! Aku keluar! Aduh! Ini dahsyat!" jerit Marina, tubuhnya melengkung, memek-nya berkontraksi, memeras Brama kuat-kuat.

Brama tersenyum bangga. Ia membiarkan kontolnya beristirahat di dalam, tapi tangannya tidak berhenti memijat. Ia memastikan minyak itu merata.

"Enak, kan? Aku bilang juga apa. Sekarang, giliran aku," kata Brama, lalu ia mengubah posisi.

Brama membalik Marina, memposisikannya *********** di ranjang. Posisi ini memaksimalkan kedalaman. Brama lalu mulai menggenjot dengan irama baru, cepat dan bertenaga.

"Pegangan yang kuat, Sayang. Aku akan bawa kamu ke puncak yang kedua. Dan kali ini, kita bareng!" perintah Brama.

Brama menggenjot, pinggulnya menghantam pantat bahenol Marina. Tangannya kini mencengkeram erat pinggul Marina, sementara tangannya yang lain masih memegang botol minyak.

Hot Talk (Brama): "Aku akan penuhi kamu! Aku suka memek kamu ngejepit aku kayak gini! Katakan kamu cuma butuh kontol aku, Rina! Katakan!"

Hot Talk (Marina): "Cuma kamu, Bram! Cuma kamu! Aku benci kontol Mando! Aku cuma cinta kontol panjang kamu! Muncrat di dalam aku! Ngentot aku sampai lemas!"

Brama menggenjotnya semakin keras. Marina menjeritkan nama Brama berulang kali. Kejang-kejang kedua Marina datang.

ORGASME KEDUA (MARINA): "Aku datang lagi! Lebih gila! Lebih dalam!" teriak Marina, tubuhnya gemetar hebat.

Kontraksi Marina yang kuat itu, ditambah irama Brama yang brutal, membuat Brama tidak bisa menahan diri lagi.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): Brama mengerang, suara kasar yang terlepas dari tenggorokannya. Ia mendorong kontolnya dalam-dalam, melepaskan gelombang air mani pertamanya yang panas ke dalam rahim Marina.

"Penuh! Kamu milik aku!" teriak Brama, ambruk di atas punggung Marina, napas mereka beradu cepat.

Mereka berbaring sejenak, saling memeluk, tubuh Marina masih basah oleh keringat dan minyak herbal yang kini bercampur.

"Gila, Bram. Aku nggak tahu bagaimana harus kerja besok," bisik Marina.

Brama mencium tengkuk Marina. "Kamu nggak perlu khawatir, Sayang. Kamu nggak harus ngentot sama aku setiap hari. Aku tahu kamu punya urusan kantor, urusan Mama buat Dino. Kita cuma butuh momen ini, momen ‘pembersihan’ dosa. Kebutuhan finansialmu, kebutuhan batinmu, biar aku yang urus. Kamu pulang, istirahat, dan besok kamu akting lagi di depan Mando."

Marina membalikkan badan, memeluk Brama erat-erat. Ia menciumnya dengan ciuman yang tulus, penuh rasa terima kasih.

"Terima kasih, Bram. Aku benci kamu karena kamu bikin aku kayak gini, tapi aku juga cinta kamu karena kamu bikin aku hidup lagi," kata Marina.

"Sama-sama, Rina. Selingkuh Tiada Akhir ini baru saja dimulai. Dan kamu akan menjadi wanita paling bahagia dan terawat di Jakarta," Brama menyeringai, mematikan.

Marina bangkit, membersihkan diri, dan mengoleskan sisa minyak herbal itu ke payudaranya, sambil tersenyum ke cermin. Ia punya rahasia, ia punya kendali, dan ia punya kontol panjang yang sempurna.

Inner Monologue (Marina, saat menuruni tangga): Bentar masih di kasir, mengerjakan PR. Dia nggak akan pernah tahu apa yang baru saja terjadi di atas. Aku istri CEO, aku mama yang baik, aku wanita jalang Brama, dan aku bangga dengan semuanya.@Barasaki 

October 9, 2025 6:04 PM

Administrator

Bab 6: Gairah di Bawah Matahari Terik

Selasa, 6 Februari 1990

Selasa adalah hari paling sibuk bagi Marina. Selain harus mengurus laporan penjualan mingguan, Dino ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mengharuskan Marina menjemputnya lebih sore dari biasanya. Namun, di balik semua rutinitas itu, Marina merasa dirinya adalah wanita yang paling cerah di seluruh Jakarta.

Sejak ia menggunakan minyak herbal dari Brama, ia merasa lebih percaya diri. Payudara jumbo-nya terasa lebih padat, putingnya lebih sensitif, dan lingkar pinggangnya yang kecil terasa lebih kencang. Yang paling penting, kebahagiaan batinnya yang sesungguhnya membuat aktingnya di depan Mando menjadi sempurna.

Bahkan, Mando mulai kembali terangsang melihat Marina.

Inner Monologue (Marina, saat Mando menciumnya pagi hari): Mando, kamu nggak tahu, minyak ini bekerja dua kali lipat. Dia merawat payudaraku dan dia juga merawat hasratku, dan hasratku itu cuma buat kontol Brama. Kamu cuma dapat sisa-sisanya.

Mando, yang semakin yakin Marina sepenuhnya puas, kemarin malam mencoba inisiatif baru.

"Rin, sayang. Aku pikir kita perlu liburan singkat. Sejak Dino sekolah, kita nggak pernah quality time berdua. Gimana kalau akhir pekan ini kita ke Puncak? Cuma kita berdua," usul Mando.

Tawaran Mando adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia senang Mando menunjukkan perhatian. Di sisi lain, sepanjang akhir pekan di Puncak tanpa Brama terdengar seperti neraka. Tidak ada sesi ngentot yang sempurna, dan yang lebih parah, ia tidak bisa mengontrol kebutuhan finansialnya secara diam-diam.

"Puncak? Wah, romantis banget, Mando! Tapi... kerjaan di kantor lagi numpuk. Minggu depan aku ada target besar. Mungkin bulan depan ya, Sayang? Aku nggak mau kerjaanku berantakan," tolak Marina, lembut.

Mando kecewa, tapi mengerti. "Baiklah, Rin. Tapi kamu janji ya, bulan depan kita harus pergi."

"Pasti, Mando," janji Marina, sambil tersenyum lega. Ia berhasil lolos.

Namun, lolos dari Mando berarti harus segera mencari Brama. Ia tidak bisa menunggu hingga sore. Kebutuhan untuk merasakan kontol panjang Brama di dalam memek-nya sudah mencapai tingkat bahaya.

Pukul 11:30 WIB. Dino sedang istirahat sekolah. Mando sedang siaran langsung. Ini adalah jendela waktu terpendek dan paling berisiko.

Marina mengirim pager ke Brama.

Pesan ke Brama (Tersandi): Dokumen Bab 6. Urgent. Jam 12. Di atap. Aku cuma punya 45 menit. Bawa Obat Herbal itu.

Brama membalas dua menit kemudian.

Pesan dari Brama (Tersandi): Di atap. Langit biru. Kontrol ini bahaya.

Marina langsung izin mendadak dari kantor, menggunakan alasan bertemu supplier penting di Jakarta Pusat. Ia memacu mobilnya ke RUKO YORASAKI.

RUKO YORASAKI – Tengah Hari

Pukul 12:05 WIB. Marina memarkir mobilnya. Di toko, Bentar sedang melayani seorang ibu-ibu yang mencari buku resep. Marina berjalan cepat ke meja Bentar.

"Bentar, Kak Brama ada di mana?" tanya Marina, suaranya terengah.

"Kak Marina? Wah, tumben banget siang-siang. Kak Brama bilang dia di atas, lagi jemur pakaian sekalian cek antena," jawab Bentar, matanya masih fokus pada tumpukan buku yang dihitungnya.

"Oke, makasih ya, Bentar. Aku ke atas sebentar, ada titipan invoice mendesak," kata Marina.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan, Bentar ada di bawah. Ibu-ibu itu ada di toko. Kalau ada suara sekecil apa pun, Bentar bisa dengar. Ini benar-benar gila. Tapi gairah itu, gairah di tengah bahaya, itu yang membuat Brama tak tertandingi.

Marina melesat ke lantai dua, dan dari sana, ia menuju pintu akses ke rooftop.

Saat ia membuka pintu itu, hawa panas Jakarta dan aroma deterjen yang bercampur sinar matahari langsung menyambutnya.

Rooftop itu adalah ruang multi fungsi Brama. Terdapat beberapa jemuran tali yang penuh pakaian, satu set mesin cuci tua, dan di sudut, ada sebuah meja lipat dan kursi yang sering digunakan Brama untuk bersantai.

Brama sudah menunggunya. Ia hanya mengenakan celana jins pendek. Kontol panjangnya yang tebal sudah menyembul keluar dari zipper yang sengaja dibiarkan terbuka setengah. Di tangannya, ia memegang botol minyak herbal.

"Selamat datang di surga terlarang, Rina," sapa Brama, suaranya berat, penuh hasrat.

Marina tidak membuang waktu. Ia berlari ke arah Brama.

"Aku cuma punya 30 menit, Bram! Aku harus segera pergi! Aku mau kamu ngentot aku sekarang! Di mana saja! Aku nggak peduli!"

Brama tersenyum, senyum kemenangannya. "Aku suka kamu yang nggak sabaran, Sayang. Itu artinya, kontol aku sudah jadi darah di tubuh kamu."

Brama mendorong Marina ke dinding ***** yang kasar, di samping tumpukan cucian bersih yang sudah dilipat. Tanpa mencium, tanpa basa-basi.

"Aku mau kamu merasakan ketelanjangan di bawah matahari. Buka pakaian kamu, sekarang!" perintah Brama.

Marina dengan cepat melepaskan blus kerjanya, lalu roknya. Ia berdiri telanjang di bawah matahari, di antara jemuran pakaian Brama. Cahaya matahari menyorot payudara jumbo-nya, membuat puting panjangnya berkilauan.

Brama mendekat. Ia menuangkan minyak herbal itu ke tangan, dan alih-alih memijat payudara Marina, ia mengoleskannya di sekitar memek Marina.

"Ini biar gesekan kita sempurna. Memek kamu sudah basah, tapi aku mau dia licin, panas, dan sempurna," bisik Brama, lalu ia meratakan minyak itu, jari-jarinya yang kasar menyentuh klitoris Marina.

Marina menjerit kecil, suaranya tertahan. "Bram! Jangan disentuh! Aku nggak bisa tahan!"

Brama tidak mendengarkan. Ia mencondongkan tubuh, menjilat klitoris Marina yang sudah licin oleh minyak dan basah.

Hot Talk (Brama): "Aku jilat memek kamu di bawah matahari ini! Aku mau kamu menjerit sampai Bentar di bawah sana dengar! Tapi jangan sampai dia tahu suara apa itu!"

Marina mendengus, kakinya gemetar. Ia mencoba menahan suara yang keluar dari tenggorokannya. Sensasi lidah Brama yang kasar di tengah minyak herbal yang hangat, ditambah gairah yang sudah di puncak, adalah kombinasi yang mematikan.

Inner Monologue (Marina): Aku harus diam! Ada Bentar! Ada Bentar! Tapi Brama... dia membuatku lupa diri! Aku benci dia karena ini! Aku akan gila!

Brama bangkit, senyumnya dingin. Ia memosisikan Marina *********** menghadap dinding, kedua tangannya menempel pada ***** yang panas.

"Sekarang, aku akan ngentot kamu. Aku mau kamu melihat bayangan kita di dinding saat aku masukkan kontol ini. Aku mau kamu lihat bagaimana aku menguasai kamu," perintah Brama.

Brama mencengkeram pantat bahenol Marina, menekannya kuat-kuat. Kontol panjangnya yang sudah berlumur minyak meluncur masuk.

PLOP!

Dorongan itu begitu dalam, menghantam rahim Marina. Marina menjerit tertahan, suaranya terdengar seperti rengekan pelan yang tersamarkan oleh suara mesin cuci di sudut ruangan.

Brama memulai hentakannya. Cepat, efisien, dan sangat dalam. Gerakannya terburu-buru, mencerminkan waktu mereka yang singkat.

Hot Talk (Marina): "Ah! Ya! Cepat! Aku suka kamu cepat-cepat! Aku mau kamu keluar di dalam aku sebelum aku terlambat jemput Dino! Ngentot aku! Ngentot!"

Hot Talk (Brama): "Jangan khawatir soal Dino! Dino akan aman! Aku akan buat kamu muncrat di sini! Di tempat cucian kita! Ingat, Rina! Kontol ini yang bikin kamu hidup! Bukan kontol dia yang dingin!"

Brama menggenjot semakin keras. Sensasi minyak yang melicinkan membuat setiap hentakan terasa mulus, namun kedalamannya brutal. Marina mencengkeram dinding *****, kukunya menggaruk kasar permukaan tembok.

Inner Monologue (Brama): Gue harus cepat. Tapi nggak boleh sebentar. Dia butuh dua kali. Ini bahaya. Adrenalinnya gila. Gue bisa lihat dia sebentar lagi keluar.

Marina merasakan gelombang panas pertama membakar tubuhnya. Kejang-kejang yang cepat, didorong oleh ketakutan ketahuan dan kenikmatan yang terlarang.

ORGASME PERTAMA (MARINA): "Aku keluar! Bram! Aku nggak tahan! Aduh! Aku keluar! Keluar!" jerit Marina, suaranya parau, tubuhnya bergetar di dinding.

Brama, masih menancap dalam, memperlambat irama. Ia mencium punggung Marina yang berkeringat.

"Bagus. Kamu masih ada 20 menit lagi. Aku bilang dua kali. Jangan coba-coba lari," bisik Brama, dominan.

Brama mengubah irama. Ia menarik kontolnya hampir keluar, lalu menusuknya lagi dengan hentakan panjang dan lambat, fokus pada rhythm yang baru.

Ia menahan pinggul Marina dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mencari payudara jumbo Marina, meremasnya kuat-kuat. Minyak yang tersisa di tangannya kini melumuri kulit payudara Marina.

"Kita coba posisi baru. Kamu berdiri, aku yang angkat," kata Brama.

Brama membalikkan Marina, lalu mengangkatnya, memposisikan Marina bersandar pada mesin cuci tua yang bergetar. Kaki Marina melilit pinggang Brama. Brama menggenjotnya sambil berdiri. Sensasi mesin cuci tua yang bergetar, ditambah hentakan Brama, membuat Marina tertawa geli sekaligus menjerit.

Hot Talk (Marina): "Hahaha! Ini gila, Bram! Mesin cuci ini bergetar! Kontol kamu di dalam aku! Rasanya aneh! Tapi aku suka! Aku mau keluar lagi!"

Hot Talk (Brama): "Mesin cuci ini nggak sekuat kontol aku, Rina! Aku akan buat memek kamu panas sampai mendidih! Keluar! Aku mau dengar suara muncrat kamu di atap ini!"

Brama menggenjot Marina semakin cepat dan semakin dalam. Ia bisa merasakan detik-detik terakhirnya.

Inner Monologue (Marina): Dia gila. Aku gila. Aku harus pulang. Tapi aku nggak mau dia berhenti! Oh, Mando... kamu nggak akan pernah tahu ini! Ini bukan lagi selingkuh, ini candu!

Brama merasakan kejang-kejang Marina yang kedua datang, lebih kuat dan terpusat. Ia tidak bisa menahan diri lagi.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): Brama mengerang, suara yang panjang dan lantang. Ia mendorong kontolnya sedalam mungkin, membanjiri rahim Marina dengan air mani panas, menandai kepemilikannya.

"Ambil semua! Aku kasih semua, Rina! Kamu adalah yang terbaik!" teriak Brama, ambruk ke dinding, kontolnya masih di dalam.

Marina menjerit klimaks kedua, tubuhnya melorot, kaki-kakinya terasa seperti jeli. Mereka berdua terengah-engah, bersandar pada mesin cuci yang kini sudah berhenti bergetar.

"Waktu habis, Rina. Sudah 12:40 WIB. Kamu harus segera turun," bisik Brama, setelah beberapa saat.

Marina mencium Brama. "Terima kasih, Bram. Aku... aku bisa bernapas lagi. Aku akan transfer untuk novel langka itu sebentar lagi."

"Bagus. Sampai ketemu di Bab 7, Rina. Sekarang, pakai pakaian kamu, dan kembalilah menjadi istri CEO yang paling berbahagia di Jakarta," Brama tersenyum, lalu ia menarik kontolnya keluar.

Marina merapikan dirinya, mengenakan pakaian kerjanya yang kini terasa lengket di kulit. Ia melirik jam tangannya. 12:45 WIB. Tepat waktu.

Inner Monologue (Marina, menuruni tangga): Bentar pasti mencium bau parfumku dan keringat. Tapi dia nggak akan tahu. Aku baru saja ngentot di ruang jemur. Dan aku sudah mendapatkan kepuasan ganda sempurna. Sekarang, kembali ke kantor, dan senyum palsu untuk Mando.

Marina meninggalkan RUKO YORASAKI dengan langkah penuh percaya diri, tubuhnya terasa ringan, dan rahasianya terkunci rapat.

Inner Monologue (Brama, di atap): Dia semakin liar. Adrenalinnya semakin tinggi. Kontrol gue semakin kuat. Mando, terima kasih sudah meninggalkan istrimu terlalu lama. Dia milik gue sekarang.@Barasaki 

October 9, 2025 6:05 PM

Administrator

Bab 7: Kehangatan Palsu di Rumah Tangga

Minggu, 11 Februari 1990

Sejak sesi ngentot liar di rooftop RUKO YORASAKI, Marina merasakan tubuhnya berada dalam kondisi puncak. Fisiknya terawat, hasratnya terpuaskan, dan kondisi finansialnya terjaga rapi. Ia adalah istri, ibu, sekaligus wanita simpanan yang berhasil menjalankan tiga peran itu tanpa cela.

Di rumah, suasana kembali harmonis—sebuah kehangatan palsu yang dihidupi oleh adrenalin perselingkuhan. Marina bersikap sangat manis pada Mando, tidak pernah menuntut, dan selalu bersedia diajak berhubungan intim, bahkan jika itu hanya menghasilkan kepuasan kosong bagi dirinya.

Mando, yang notabene adalah CEO Radio NOSTALGIA FM, semakin bangga dengan istrinya.

“Rin, kamu belakangan ini cantik banget. Auranya beda. Semangat kamu makin membara, bahkan pas kamu lagi santai. Kamu ada perawatan khusus ya?” tanya Mando suatu malam, saat mereka berbaring menonton siaran berita TVRI.

Marina tersenyum misterius. "Iya, Mando. Perawatan batin. Aku lagi banyak bersyukur aja. Lagian, aku juga nggak mau dong kamu ilfil lihat aku melar. Aku kan harus jaga aset ini buat suamiku."

Mando tertawa kecil, memeluk pinggang Marina yang kecil. Tangan Mando menyentuh payudara jumbo Marina, yang terasa padat dan kencang berkat minyak herbal Brama.

Inner Monologue (Mando): Jujur, tadinya aku pikir nafsu Rin agak menurun. Tapi lihat dia sekarang, dia lebih sering senyum, dia lebih pasrah. Dia bahkan makin bergairah saat aku sentuh. Ah, mungkin memang aku yang harus lebih inisiatif.

Malam itu, Mando mencoba lagi. Ia memposisikan dirinya di atas Marina. Marina membiarkan Mando, bahkan ia berakting antusias.

Inner Monologue (Marina, saat Mando menciumnya): Nggak ada gairah. Nggak ada kejutan. Nggak ada kontol panjang yang bikin memek-ku menjerit. Cuma rutinitas. Tapi aku harus ingat Hukum Ranjang Brama. Aku harus terlihat puas, demi kebebasanku.

Saat Mando mencapai klimaks, Marina mengeluarkan desahan panjang yang terdengar sangat meyakinkan. Mando tersenyum puas, kelelahan, lalu tertidur. Marina diam-diam menghela napas, membersihkan diri, dan langsung mengirimkan pager tersembunyi ke Brama, meminta sesi pembersihan segera.

Selasa, 13 Februari 1990

Marina tahu ia tidak bisa menunggu lama. Setelah sesi yang hambar dengan Mando, ia merasa memek-nya ternoda, dan ia harus segera disucikan oleh air mani Brama. Jadwal hari itu sangat padat: rapat reseller, mengurus dokumen kiriman barang, dan menjemput Dino.

Sore harinya, sekitar pukul 16:30 WIB, Marina berhasil menyelesaikan semua tugas kantornya lebih awal. Ia langsung mengendarai mobilnya ke RUKO YORASAKI. Dino akan pulang jam 16:45 WIB dan bermain dengan temannya di sekitar kompleks sebelum masuk rumah. Marina punya waktu setidaknya satu jam.

Ketika Marina tiba di toko buku, suasana sangat sepi. Hanya ada Bentar di meja kasir. Namun, Bentar tidak sedang mengerjakan PR. Ia terlihat sangat khawatir.

"Sore, Bentar. Brama ada di mana? Toko sepi banget," sapa Marina, langsung menuju Bentar.

Bentar mendongak, wajahnya pucat. "Kak Marina, Kak Brama... dia sakit. Demam tinggi dari pagi. Dia tidur di atas. Aku udah kasih dia obat, tapi dia nggak mau bangun."

Marina kaget. Brama sakit? Pria yang dominan, kuat, dan selalu menguasainya kini terbaring lemah? Rasa khawatir bercampur dengan rasa bersalah langsung menghantamnya.

"Sakit? Ya ampun. Aku harus lihat dia. Kamu jaga toko ya, Bentar. Kalau ada pembeli, bilang aku temannya lagi jenguk," ujar Marina, langsung melesat ke lantai dua.

Marina masuk ke kamar Brama. Kamar itu gelap, tirai ditutup. Brama terbaring di ranjang, wajahnya merah padam, keringat dingin membasahi kausnya.

"Bram? Kamu kenapa?" bisik Marina, mendekat.

Brama membuka matanya yang sayu. "Rina? Kenapa kamu ke sini? Aku udah bilang nggak usah. Aku nggak mau kamu ketularan," suaranya parau dan lemah.

Marina duduk di pinggir ranjang. Ia menyentuh dahi Brama. Panas sekali.

"Kamu gila, Bram. Kenapa nggak ke dokter? Kamu harus minum obat lagi. Kamu nggak boleh sakit. Siapa nanti yang ngentot aku kalau kamu sakit begini?" Marina mencoba bercanda, tetapi suaranya terdengar cemas.

Brama tersenyum lemah. "Sakit juga aku nggak lupa cara ngentot kamu, Rina. Justru, kamu yang buat aku sakit. Aku terlalu keras main di rooftop waktu itu."

"Jangan bicara sembarangan! Aku khawatir beneran sama kamu," Marina mengambil handuk basah dan mengelap wajah dan dada Brama.

Saat Marina membersihkan keringat di dada Brama, tangannya menyentuh puting Brama. Meskipun sakit, puting Brama menegang. Seketika, gairah kembali menyala.

Inner Monologue (Brama): Sial, dia di sini, merawat gue. Sentuhannya bikin gila. Walaupun demam, kontol gue nggak bisa bohong. Dia butuh gue, dan gue nggak akan nolak.

Marina melihat ke mata Brama, mata yang sakit itu kini mulai menyala. Ia melihat ke bawah, ke balik celana pendek yang dikenakan Brama. Kontol panjang itu mulai menegang perlahan di balik kain.

"Kamu yakin kamu sakit, Bram? Kontol kamu bilang sebaliknya," bisik Marina, seringai muncul di wajahnya.

Brama tertawa parau. "Aku sakit di kepala, Rina. Tapi kontol ini... dia independen. Dia nggak akan sakit kalau kamu yang jadi obatnya."

Rasa iba Marina hilang, berganti dengan gairah yang eksplosif. Ia melihat Brama yang lemah, tetapi kontol-nya yang kuat. Kontras itu memicu adrenalin yang baru. Marina harus ngentot dengannya, sekarang, sebagai obat, sebagai tanda dominasi dan kelemahannya.

"Aku akan jadi perawatmu, Bram. Tapi kamu harus ikut aturanku," kata Marina, kini dialah yang mengambil kendali.

Marina berdiri dan dengan cepat menanggalkan pakaiannya hingga ia telanjang. Ia menyuruh Brama berbaring telentang. Brama tidak membantah, tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

"Aku akan naik ke kamu. Aku yang akan menggenjot. Kamu cuma diam dan nikmati. Aku akan jadi pil penurun demammu," kata Marina, dominan.

Marina meraih kontol panjang Brama. Panjang, uratnya terlihat jelas, kini mengeras sempurna. Marina mengoleskan sisa minyak herbal ke seluruh permukaan kontol Brama.

"Aku nggak mau ini lecet. Kita harus jaga aset ini," bisik Marina, sensual.

Marina lalu memposisikan dirinya di atas Brama. Ia duduk perlahan, menuntun kepala kontol Brama ke pintu masuk memek-nya.

Sluuppp...

Kontol panjang Brama meluncur masuk dengan mulus. Marina menjerit pelan, merasakan kehangatan dan kekerasan kontol itu di dalam dirinya.

Marina kini menguasai irama. Ia mulai menggenjot pinggulnya, naik turun dengan ritme lambat, membiarkan kontol Brama menusuk bagian terdalam memek-nya secara perlahan.

Brama hanya bisa menahan napas. Rasa sakit di kepalanya sejenak terlupakan, digantikan oleh sensasi memek Marina yang menjepitnya dengan hangat.

Hot Talk (Marina): "Rasakan aku, Bram. Aku yang pegang kendali sekarang. Kamu cuma pasienku. Kamu harus diam dan terima memek ini jadi selimutmu. Kamu suka, Sayang? Kontol kamu di memekku?"

Hot Talk (Brama): "Sangat... gila, Rina. Aku suka kamu dominasi aku. Ini lebih baik dari obat... Genjot aku! Cepat! Aku butuh memek kamu!"

Marina tersenyum. Ia mempercepat iramanya. Ia menggenjot Brama dengan agresif. Sensasi payudara jumbo-nya yang bergerak naik turun di atas dada Brama yang panas karena demam adalah pemandangan yang memabukkan.

Inner Monologue (Marina): Aku kuat! Aku bisa! Aku ngentot dia saat dia sakit! Ini bukti aku nggak cuma butuh uangnya, tapi aku butuh kontol-nya! Dia milikku, meskipun dia sedang lemah.

Irama Marina semakin liar. Ia memutar pinggulnya, memeras Brama dari segala sudut. Brama mengerang, tangannya yang lemah hanya bisa mencengkeram sprei ranjang.

Marina merasakan puncak pertamanya datang dengan cepat, didorong oleh adrenalin menjadi ********** dan kecemasan akan Bentar yang berada di bawah.

ORGASME PERTAMA (MARINA): "Aku keluar! Aduh! Aku keluar lagi! Aku suka kamu sakit! Ngentot aku saat aku di atas! Aku keluar!" teriak Marina, tubuhnya kejang-kejang, pinggulnya bergerak tak beraturan.

Brama tersentak keras di bawahnya. Kontraksi memek Marina yang kuat itu, ditambah sensasi dominasi, membuat Brama mencapai klimaks pertamanya dengan cepat meskipun tubuhnya sakit.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): "Sial! Aku juga! Air mani aku... panas, Rina! Panas banget! Kamu adalah api!" erang Brama.

Mereka berdua terengah. Marina berbaring di atas Brama, menempelkan dada ke dada, merasakan panas tubuh Brama.

"Aku belum selesai, Bram. Kamu masih butuh obat dosis kedua," bisik Marina.

Marina bergeser. Ia mengubah posisi. Ia berbaring telentang di ranjang, lalu mengangkat kedua kakinya, meletakkannya di bahu Brama. Memek Marina terbuka lebar, memamerkan dirinya, masih basah oleh air mani Brama dan gairah.

Brama, meskipun sakit, tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memegang pinggul Marina, dan dengan sisa tenaganya, ia mulai menggenjot lagi. Kali ini, posisi ini membuat kontol panjangnya mencapai kedalaman yang mengerikan.

Hot Talk (Brama): "Ini adalah treatment paling gila! Kontol ini menembus kamu! Aku sembuh, Rina! Aku sembuh karena kamu!"

Hot Talk (Marina): "Lebih dalam! Aku suka kamu genjot aku sampai aku nggak bisa teriak! Penuhi aku lagi! Ngentot! Ngentot!"

Kejang-kejang Marina yang kedua datang, lebih lambat, lebih dalam, seperti gelombang pasang. Brama, di ambang batasnya, merasakan kenikmatan yang begitu intens sehingga demamnya terasa seperti ekstasi.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): Marina menjerit, kakinya menegang di bahu Brama. Brama mengerang panjang, dorongan terakhirnya begitu kuat, melepaskan air mani keduanya, yang panas dan melimpah, ke dalam tubuh Marina.

"Penuh! Kamu milik aku!" teriak Brama, suaranya kini kembali normal.

Mereka berbaring, kelelahan. Marina mencium bibir Brama. Demam Brama seolah ikut luruh bersama keringat dan orgasme mereka.

"Aku harus pergi, Bram. Cepat sembuh, Sayang," bisik Marina.

Brama memeluk Marina. "Makasih, Rina. Kamu memang wanita jalang terbaik yang pernah ada. Aku akan transfer gajimu besok pagi."

Marina mengangguk, lalu berpakaian dengan cepat. Ia turun ke bawah, memastikan Bentar masih sibuk di kasir.

Inner Monologue (Marina, di mobil): Aku baru saja ngentot pria yang sakit demam dan aku merasa seperti pahlawan. Brama benar. Aku tidak bisa hidup tanpa kendalinya, tanpa kontol-nya, dan tanpa uangnya. Semuanya berjalan sempurna.@Barasaki 

October 9, 2025 6:06 PM

Administrator

Bab 8: Dosis Panas di Balik Kardus

Kamis, 15 Februari 1990

Dua hari setelah ‘sesi perawat’ yang gila di kamar Brama, Marina kembali pada rutinitasnya sebagai istri dan ibu yang sempurna. Brama benar-benar sembuh total, dan ia sudah mentransfer honor Marina untuk beberapa buku novel dewasa langka yang berhasil ia kumpulkan—sekaligus gaji ‘nafkah batin’ yang jumlahnya selalu fantastis. Keuangan Marina melimpah, dan batinnya terisi penuh.

Pagi itu, di meja makan, Mando mengumumkan berita besar.

“Rin, Sayang. Lusa, hari Sabtu, kita ada acara besar. NOSTALGIA FM Anniversary Gala. Ini acara paling penting tahunan. Semua stakeholder penting akan hadir,” kata Mando, wajahnya memancarkan kebanggaan. “Aku mau kamu tampil all out. Kamu akan jadi permaisuri di sampingku.”

Marina tersenyum lebar. Ia sudah menduga ini. Ini adalah kesempatan untuk memamerkan hasil ‘perawatan’ Brama—perut datar, lingkar pinggang kecil, dan payudara jumbo yang kini lebih padat.

“Tentu saja, Mando. Aku sudah siapkan gaun terbaikku. Aku akan buat kamu bangga,” jawab Marina, sambil mengoleskan selai pada roti Dino.

Inner Monologue (Marina): Gaun terbaik? Tentu saja. Dan di balik gaun mahal itu, ada memek yang cuma kenal satu kontol. Brama sudah persiapkan aku. Aku akan tampil sempurna, dan Mando nggak akan pernah tahu rahasia di balik senyum ini.

Setelah Mando mengantar Dino ke sekolah, Marina langsung menghubungi Brama melalui pager.

Pesan ke Brama (Tersandi): Sabtu malam, aku harus tampil. Aku butuh booster terakhir. Urgent. Sekarang.

Brama membalas tak lama kemudian.

Pesan dari Brama (Tersandi): Sempurna. Aku punya stock Enny Arrow baru, edisi paling langka, perlu kamu cek di gudang belakang kantormu. Aku tunggu 11:45 WIB. Jangan telat. Waktu cuma 30 menit. Risiko tinggi.

Marina menelan ludah. Gudang belakang kantornya? Itu adalah gudang penyimpanan barang reseller yang jarang dipakai, bau pengap, dan gelap. Namun, risiko tinggi selalu berarti gairah tertinggi.

GUDANG PENYIMPANAN – 11:45 WIB

Marina tiba di area gudang belakang kantornya, lima menit lebih awal. Ia masuk melalui pintu samping yang jarang terpakai. Gudang itu kecil, berdebu, dan penuh tumpukan kardus berisi stationery, buku-buku lama, dan invoice arsip. Udara terasa pengap, tapi jantung Marina berdebar kencang. Ini jauh lebih berbahaya daripada rooftop YORASAKI karena ia berada di wilayah kerjanya sendiri.

Brama sudah menunggunya di balik tumpukan kardus paling tinggi. Ia mengenakan kaus abu-abu yang sudah kusam dan celana training hitam. Penampilannya sangat kontras dengan Brama si pemilik toko buku cool. Brama yang sekarang adalah Brama si penguasa rahasia.

“Tepat waktu, Rina. Aku suka. Berarti kamu tahu seberapa pentingnya sesi ini,” sambut Brama, suaranya pelan, tapi tegas. Di sampingnya, ada dua kardus novel Enny Arrow yang ditumpuk.

“Gila kamu, Bram. Kenapa harus di sini? Kalau ada office boy lihat, kita tamat!” bisik Marina, matanya liar mengawasi sekeliling.

Brama mendekat, mencengkeram lengan Marina. “Justru itu. Adrenalin membuat kontol ini makin keras. Dengarkan aku, Rina. Aku nggak cuma mau ngentot kamu. Aku mau kamu ingat sensasi ini saat kamu dansa sama Mando di atas panggung. Aku mau kamu ingat bahwa di balik gaun mahalmu, ada air mani gue yang mengalir di dalam memek kamu.”

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan. Dia benar-benar mengontrol pikiranku. Dia memaksaku untuk membawa dosaku ke hadapan suamiku. Dan... aku suka ide itu.

“Apa yang harus aku lakukan, Bram?” tanya Marina, suaranya terdengar putus asa namun penuh hasrat.

“Lepaskan semua. Sekarang. Tapi pelan. Nggak boleh ada suara,” perintah Brama.

Marina mematuhi. Ia membuka kancing blus kerjanya perlahan, lalu melepaskan rok span pensilnya. Semua dilipat rapi, diletakkan di atas tumpukan kardus. Ia telanjang, berdiri di tengah bau debu dan kertas.

Brama menatapnya, matanya tajam. Ia menanggalkan celana trainingnya. Kontol panjang Brama menyembul keluar, tegang, uratnya terlihat jelas, siap tempur.

“Sempurna. Kamu nggak pakai bra hari ini. Bagus. Aku bisa lihat payudara jumbo kamu langsung,” puji Brama, sambil menyentuh puting Marina yang sudah menegang.

Brama mendorong Marina ke tumpukan kardus yang tinggi. Marina bersandar, kardus itu terasa dingin dan kasar di punggungnya. Brama tidak menggunakan minyak hari ini, ia ingin sensasi gesekan yang lebih mentah, lebih cepat.

“Kita nggak punya waktu untuk romantis, Rina. Aku mau kamu cepat keluar. Aku mau memek kamu jepit kontol gue sampai gue gila,” Brama mendesis.

Brama mencengkeram pinggul Marina, mengangkatnya sedikit, dan dengan satu dorongan yang brutal, kontol panjangnya masuk sepenuhnya ke dalam memek Marina.

Sshhhaakk!

Marina tersentak, rasa sakit bercampur kenikmatan. Kedalamannya luar biasa.

“Ah! Brengsek! Itu dalam banget!” rintih Marina, suaranya tertahan, hampir seperti erangan kucing.

Brama mulai menggenjot. Cepat, pendek, dan sangat bertenaga. Setiap hentakan menghasilkan bunyi slap yang pelan dari paha mereka.

Hot Talk (Brama): “Rasakan urgensinya, Rina! Ini kantor kamu! Kontol gue lagi ngentot istri CEO di balik kardus Enny Arrow! Aku mau kamu ingat semua detail kotor ini saat kamu senyum ke kolega Mando!”

Hot Talk (Marina): “Mando! Lupakan Mando! Kontol kamu sempurna! Aku mau kamu hentak aku sampai aku muncrat! Aku nggak peduli ada orang di luar! Ngentot aku! Lebih keras!”

Brama menggenjotnya tanpa ampun. Keringat mulai membasahi dahi Brama. Adrenalin Marina membuat memek-nya berkontraksi sangat kuat, memicu titik sensitifnya dengan brutal.

Inner Monologue (Marina): Bahaya! Ini gila! Tapi sensasi dingin kardus di punggung, bau debu, dan kontol Brama di dalamku... ini adalah kehidupan nyataku. Aku harus keluar! Aku butuh ini untuk bertahan hidup!

Gelombang orgasme pertama Marina datang dengan cepat, didorong oleh ketakutan ketahuan.

ORGASME PERTAMA (MARINA): “Keluar! Aku keluar, Bram! Gila! Aku nggak bisa berhenti!” Marina menjerit pelan, tubuhnya melengkung, mencengkeram kardus di sampingnya.

Kontraksi Marina yang keras dan tiba-tiba itu menstimulasi Brama hingga batasnya.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): “Sialan! Aku ikut! Memek kamu ngajak perang!” Brama mengerang, mendorong kontolnya dalam-dalam, melepaskan sebagian besar air mani panasnya ke dalam Marina.

Mereka berdua terengah, Brama menyandarkan tubuhnya pada Marina, kontolnya tetap tertanam di dalam.

“Itu baru pembukaan, Sayang. Kita masih punya waktu untuk sesi kedua, yang lebih dalam,” bisik Brama, setelah napasnya stabil.

Brama melepaskan diri sebentar, menarik Marina, dan mendudukkannya di atas tumpukan kardus yang sudah ia lapisi kaus lusuhnya. Marina kini menghadap Brama, kaki Marina melingkari pinggang Brama.

“Kita ubah irama. Aku mau lambat. Aku mau kamu rasakan setiap inchi kontol ini di dalam kamu,” kata Brama, kini ia mengendalikan waktu dan kedalaman.

Brama mulai menggenjot dengan ritme yang lambat dan mantap. Ia memasukkan kontolnya sedalam mungkin, lalu menahannya sejenak, sebelum menariknya keluar perlahan.

Hot Talk (Brama):Memek kamu masih menjepit aku, Rina. Aku bisa rasakan detak jantung kamu di sini. Ingat, setiap dorongan lambat ini, itu adalah janji finansial dan kepuasan batin. Aku mengisi yang kosong di rumah kamu.”

Hot Talk (Marina): “Aku... aku sudah penuh, Bram. Jangan keluar! Aku mau kamu tahan! Kontol ini terlalu besar! Aku nggak bisa nafas! Tapi jangan berhenti! Aku mau muncrat lagi!”

Brama memegang payudara jumbo Marina, meremasnya lembut, berlawanan dengan gerakan ngentot-nya yang lambat tapi dalam. Kontras ini membuat Marina merasakan gelombang gairah yang berbeda, lebih mendalam, merambat dari dalam rahim.

Inner Monologue (Brama): Sakit kepala gue udah hilang total. Dia adalah obat yang sempurna. Dia dominan saat gue sakit, dan pasrah saat gue sehat. Wanita ini nggak akan pernah bisa lepas dari gue.

Marina merasakan puncak kedua yang datang perlahan, membangun dari dasar perutnya. Itu adalah orgasme yang lebih panjang dan memabukkan, diselingi tawa kecilnya yang nakal karena sadar sedang ngentot di tengah tumpukan ATK kantor.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): Marina menjerit tanpa suara, kepalanya mendongak. “Ya Tuhan! Aku keluar! Aduh! Aku cinta kontol kamu!”

Jeritan Marina disusul oleh erangan panjang Brama. Ia mendorong kontolnya hingga menyentuh tulang panggul Marina, melepaskan air mani keduanya, yang kini terasa lebih kental dan panas, ke dalam Marina.

“Penuh! Kamu siap untuk Mando sekarang!” seru Brama, suaranya serak.

Mereka terengah, Brama menempelkan keningnya di kening Marina.

“Ambil pakaian kamu. Dan ini, fee untuk sesi hari ini, ditambah komisi buku yang aku bilang,” kata Brama, menyerahkan amplop tebal.

Marina mencium Brama, ciuman penuh rasa terima kasih dan kepemilikan. “Makasih, Bram. Sampai ketemu setelah Gala. Aku akan ceritakan bagaimana aku akting sempurna di depan semua orang.”

Marina merapikan dirinya, mengenakan kembali pakaian kerjanya, yang kini terasa begitu bersih di luar, tapi kotor dan basah di dalam. Brama juga merapikan celana trainingnya, memastikan tidak ada bukti tertinggal.

Inner Monologue (Marina, saat berjalan kembali ke kantor): Bau debu dan air mani Brama. Fantastis. Aku adalah istri CEO yang paling beruntung. Aku punya segalanya, dan yang paling penting, aku punya Brama. Aku siap untuk Gala NOSTALGIA FM.@Barasaki 

October 9, 2025 6:11 PM

Administrator

Bab 9: Gaun Malam dan Dosa Publik

Sabtu, 17 Februari 1990

Malam ini adalah panggung Marina.

NOSTALGIA FM Anniversary Gala diadakan di sebuah ballroom hotel bintang lima yang mewah di kawasan Jakarta Pusat. Udara terasa berat oleh aroma parfum mahal, musik jazz yang lembut, dan kesuksesan para elite bisnis. Marina mengenakan gaun malam biru tua, potongan V-neck rendah yang sempurna membingkai leher jenjang dan menonjolkan keindahan payudara jumbo-nya, yang kini terasa begitu padat berkat minyak herbal Brama.

Di sampingnya, Mando tersenyum bangga, memegang pinggang kecil Marina.

“Rin, kamu benar-benar ratu malam ini. Semua mata tertuju padamu. Mereka lihat betapa beruntungnya aku punya istri secantik dan sesempurna kamu,” bisik Mando, tulus.

Marina membalas senyum itu dengan akting sempurna. Wajahnya memancarkan kebahagiaan seorang istri yang dicintai.

Inner Monologue (Marina): Ratu? Ya. Ratu yang baru saja ngentot di balik kardus dua hari lalu. Mando nggak tahu, senyumku malam ini bukan untuknya, tapi untuk kontol Brama yang masih hangat membekas di dalam memek-ku. Aku harus sempurna, agar hadiah dari Brama nanti malam juga sempurna.

Saat Mando sibuk menyapa relasi dan sponsor besar, Marina menyempatkan diri melirik ke sekeliling ruangan. Mando sudah memastikan Toko Buku YORASAKI (Brama) tidak diundang karena skalanya terlalu kecil. Namun, Marina tahu, Brama punya cara lain untuk mengawasinya.

Saat Mando mengajaknya berdansa di lantai dansa, Marina menari dengan anggun, matanya sesekali melirik ke arah balkon ruangan. Dan benar saja. Di sudut yang paling remang-remang, di antara pilar besar, berdiri Brama. Ia tidak mengenakan tuksedo, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana slack rapi. Ia terlihat seperti pengamat profesional, bukan tamu.

Brama tidak tersenyum. Ia hanya menatap Marina, tatapan mata yang tajam, penuh instruksi.

Inner Monologue (Marina, saat Mando memeluk pinggangnya): Bram ada di sana. Dia melihatku. Aku harus tampil lebih natural. Mando, lebih erat lagi!

Marina menekan punggung Mando, membiarkan tubuhnya bersentuhan rapat. Ia berbisik manja, “Aku senang banget malam ini, Mando. Kamu hebat.”

Mando, yang merasa terangsang dengan bisikan dan kedekatan itu, mencondongkan tubuh ke telinga Marina. “Malam ini aku akan buat kamu lebih senang lagi di rumah, Rin. Kamu tahu kan, gaun ini bikin aku gila.”

Saat Mando memeluknya, Marina menutup mata. Ia tidak melihat wajah Mando, tapi ia mengingat dengan jelas wajah Brama di balkon, ekspresi Brama yang seolah berkata: “Terus berakting. Aku akan menghapus dosa ini nanti.”

Marina merasakan sensasi fantasi yang gila: Mando yang memeluknya, tapi Brama yang mengontrol pikirannya. Air mani Brama yang masih ada di dalam rahimnya terasa hangat, seolah menjadi jimat kekuatan.

Pukul 01:30 WIB – Rumah Marina dan Mando

Acara Gala selesai. Mando sangat puas dengan performance Marina. Setelah memastikan Dino tidur nyenyak, mereka masuk ke kamar utama.

Mando tidak membuang waktu. Ia menarik Marina ke ranjang. Ia melepaskan gaun biru tua Marina dengan tergesa-gesa.

"Rin, kamu seksi banget malam ini. Aku nggak tahan," bisik Mando, nafsunya kembali memuncak setelah sekian lama berkat motivasi dan akting Marina.

Mando melakukan hubungan intim yang cepat dan penuh gairah. Bagi Mando, itu adalah sesi yang memuaskan dan penuh cinta, didorong oleh kebanggaan publik malam itu. Bagi Marina, ini adalah kewajiban yang harus dituntaskan dengan cepat.

Inner Monologue (Marina, saat Mando menggenjotnya): Cepat Mando, cepat selesai. Aku harus segera membersihkan memek ini. Kontol Brama jauh lebih dalam. Ini nggak terasa apa-apa. Aduh, Mando bau parfum, Brama bau keringat dan adrenalin.

Marina berakting total. Ia mengeluarkan desahan, bahkan berpura-pura mencapai klimaks yang meyakinkan saat Mando muncrat dan kelelahan.

Pukul 02:00 WIB Mando tertidur pulas, kelelahan. Marina membersihkan diri di kamar mandi, merasa kotor sekaligus bersemangat. Ia harus segera membersihkan noda kepalsuan ini.

Marina mengambil ponsel tuanya, dan mengirim pesan kepada Brama (ia tahu Brama masih terjaga).

Pesan ke Brama (Tersandi): Misi selesai. Sukses. Aku butuh pembersihan ganda. Sekarang. RUKO.

Tiga menit kemudian, balasan datang.

Pesan dari Brama (Tersandi): Kunci cadangan di pot bunga kaktus. Aku di lantai dua. Jangan berisik.

Marina dengan hati-hati menyelinap keluar rumah. Ia mengendarai mobilnya, meluncur cepat membelah sepinya Jakarta pukul 02:30 dini hari.

RUKO YORASAKI – Pukul 02:45 WIB

Marina tiba. Toko buku YORASAKI tertutup rapat. Marina menemukan kunci di balik pot kaktus, dan membuka pintu dengan sangat hati-hati. Bau kertas baru dan tinta langsung menyambutnya.

Ia langsung menuju lantai dua, ke kamar Brama.

Brama sudah menunggunya di ruang tamu kecil di lantai dua, ruangan yang biasanya ia gunakan untuk membaca dan bersantai. Lampu remang-remang menyala.

Brama hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya, memperlihatkan tubuhnya yang kekar dan basah setelah mandi. Matanya menyala.

“Hebat, Rina. Aku lihat kamu. Kamu adalah aktris terbaik di dunia,” puji Brama, suaranya pelan tapi penuh hasrat.

Marina tidak menjawab dengan kata-kata. Ia melempar kunci di atas meja, dan langsung menerjang Brama.

“Aku kotor, Bram! Aku kotor! Aku butuh kamu bersihkan! Ngentot aku sampai aku lupa sama bau parfum Mando!” Marina merintih, menarik handuk Brama hingga lepas.

Brama tertawa kecil. “Aku tahu. Aku lihat bagaimana kamu berakting. Sekarang, nikmati kontol aslimu.”

Brama mendorong Marina ke sofa beludru kecil di ruang tamu itu. Marina langsung berlutut di depan Brama. Ia tidak ingin membuang waktu. Ia ingin menyambut kontol panjang Brama.

Marina memeluk pangkal paha Brama. Kontol Brama, yang baru saja tegang, terasa hangat dan keras di mulutnya.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan. Rasanya berbeda. Ini yang aku butuh. Kekerasan, ukuran, kedalaman. Aroma Brama, keringatnya, maskulinitasnya. Kontol ini adalah Tuhanku.

Marina mulai menghisap Brama, mulutnya bergerak agresif, lidahnya bermain di kepala kontol Brama.

Hot Talk (Brama):Memek kamu pasti cemburu, Rina. Jangan buru-buru. Aku mau kamu nikmati dulu. Hisap kontol ini sampai keluar air mani di mulutmu.”

Marina menggeleng. Ia menarik Brama bangkit. “Nggak! Aku mau kontol ini di memekku! Sekarang! Aku butuh ngentot yang sempurna!”

Brama tersenyum, lalu ia mengangkat Marina dan meletakkannya di atas meja kopi kayu yang rendah di depan sofa. Dingin dan keras. Marina memposisikan dirinya, kaki terbuka lebar.

Brama meraih botol minyak herbal dari laci, dan menuangkannya sedikit, bukan pada payudara, melainkan langsung pada memek Marina.

“Aku tahu kamu sudah basah, tapi aku mau memek ini licin seperti berlian yang siap dipoles,” bisik Brama, mengoleskan minyak itu hingga menyentuh klitoris Marina.

Marina menjerit kecil, kakinya gemetar di udara. Sensasi minyak hangat di memek yang sudah sangat terangsang membuat gairahnya langsung berada di puncak.

Brama tidak menunggu lagi. Ia memposisikan dirinya, dan dengan dorongan yang mulus namun dalam, kontol panjang Brama kembali bersatu dengan memek Marina.

Sluuuppp!

“Ah! Akhirnya! Ini dia! Kepuasan asli!” rintih Marina, mencengkeram bahu Brama.

Brama memulai hentakan lambat dan teratur, menikmati sensasi memek Marina yang menjepitnya seperti sarung tangan panas.

Hot Talk (Brama): “Aku tahu kamu kangen, Sayang. Kontol ini nggak akan pernah mengecewakan. Aku masuk jauh, sampai kamu lupa nama suamimu. Ingat siapa yang menguasai memek ini, Rina!”

Hot Talk (Marina): “Hanya kamu, Bram! Hanya kamu! Mando cuma debu! Kontol kamu luar biasa! Aku mau kamu rusak aku! Ngentot! Ngentot!”

Marina merasakan gelombang kejang-kejang pertama muncul dari dalam rahim. Ini adalah pelepasan yang sesungguhnya, setelah pengekangan diri sepanjang malam.

ORGASME PERTAMA (MARINA): “Aku keluar! Sekarang! Gila! Aku keluar, Bram! Lebih dalam!” Marina berteriak tertahan, tubuhnya kejang-kejang hebat di atas meja kopi.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): Kontraksi kuat memek Marina langsung memicu Brama. Ia mengerang, dorongan kerasnya membanjiri Marina dengan air mani panas pertamanya.

“Aku nggak bisa nahan! Memek kamu terlalu kuat!” desis Brama, terengah.

Mereka berhenti sejenak. Brama menarik Marina, memeluknya di meja. “Kita masih punya waktu 30 menit. Dosis kedua, Rina.”

Brama membalikkan Marina, memposisikannya *********** di atas meja kopi, kakinya menjejak di lantai. Brama kembali menancapkan kontolnya dari belakang.

Irama kedua ini lebih cepat, lebih keras, penuh dengan kepuasan setelah melalui ketegangan publik. Brama mencengkeram pantat bahenol Marina, menggenjotnya tanpa ampun. Setiap hentakan membuat meja kayu itu bergeser pelan.

Hot Talk (Marina): “Ya Tuhan! Aku suka ini! Cepat! Kontol kamu menusuk gila-gilaan! Ini pembersihan yang sempurna!”

Hot Talk (Brama): “Aku bersihkan semua kepalsuan kamu, Rina! Ambil semua air mani gue! Aku mau kamu pulang dengan bukti nyata di dalam memek kamu! Aku mau Mando mencium bau kontol gue!”

Marina tertawa kecil, tawa gila yang diselingi rintihan. Gairah itu membuat segalanya tampak lucu dan menyenangkan.

Inner Monologue (Brama): Gue udah kuasai dia total. Dia sekarang bahkan lebih berani. Dia nggak peduli dia istri siapa. Dia cuma butuh kontol gue.

Marina merasakan gelombang kedua datang, lebih lambat, lebih kuat, membangun ke titik klimaks yang sempurna.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): “Keluar! Aku cinta kamu, Bram! Aku keluar! Kontol kamu terhebat!” jerit Marina, tubuhnya menegang dan ambruk ke meja.

Brama mengeluarkan erangan panjang, mencengkeram pinggul Marina, dan mendorong kontolnya sedalam mungkin, melepaskan air mani kedua yang kental, memenuhi Marina dengan kepuasan total.

Mereka terbaring di atas meja kopi, kelelahan, basah oleh keringat dan minyak herbal.

“Sekarang, kamu bisa pulang, Rina. Dan tidurlah seperti istri paling bahagia di dunia. Sampai jumpa di Bab 10,” bisik Brama, mencium punggung Marina.

Marina mengangguk, lalu bergegas merapikan diri di ruang tamu kecil itu. Ia menyelinap keluar dari RUKO, hatinya puas, tubuhnya penuh.

Inner Monologue (Marina, dalam perjalanan pulang): Sempurna. Aku menipu Mando, mendapat uang, dan memek-ku diisi sempurna. Aku akan tidur nyenyak di samping Mando, dan dia nggak akan pernah tahu bahwa aku baru saja ngentot habis-habisan dengan Brama.@Barasaki 

October 9, 2025 6:12 PM

Administrator

Bab 10: Komisi dan Gairah di Balik Sekat

Selasa, 27 Februari 1990

Minggu-minggu terakhir bulan Februari menjadi masa puncak kesibukan Marina sebagai reseller. Berkat penampilan memukau dan jaringan relasinya yang luas saat Gala NOSTALGIA FM, Marina berhasil menutup tiga kontrak besar pasokan alat tulis dan buku ke beberapa institusi swasta. Keuangan Marina kini benar-benar melimpah, melebihi gaji suaminya sebagai CEO.

Pagi itu, setelah mengurus Dino dan memastikan Mando berangkat ke kantor, Marina duduk di meja kerjanya, menghitung komisi. Angkanya membuat ia tersenyum lebar. Uang adalah kekuatan, dan uang dari pekerjaan yang didapat berkat booster gairah dari Brama adalah kemenangan ganda yang manis.

Inner Monologue (Marina): Uang ini enak. Tapi kepuasan dari Brama jauh lebih enak. Aku sudah kerja keras secara finansial, sekarang saatnya aku menuntut bonus nafkah batin yang sempurna. Dua hari ini aku nggak ketemu dia, memek-ku sudah protes keras.

Marina mengirim pager ke Brama.

Pesan ke Brama (Tersandi): Komisi besar sudah cair. Aku butuh invoice balasan. Sempurna. Aku di Toko kamu jam 15:30 WIB. Siapkan gudang belakang. Aku mau sesi yang panjang.

Balasan Brama singkat: Siap.

TOKO BUKU YORASAKI – Pukul 15:30 WIB

Marina tiba di RUKO YORASAKI, memarkir mobilnya agak jauh dari pintu toko. Ia masuk dengan penampilan profesional: rok span, blus sutra, dan kacamata baca. Ia harus terlihat seperti reseller yang sedang urusan bisnis.

Di balik meja kasir, Bentar, si pegawai paruh waktu, sedang merapikan beberapa tumpukan majalah dan buku baru. Ia menyambut Marina dengan sopan.

“Siang Bu Marina. Pak Brama ada di ruang gudang belakang. Katanya sudah ditunggu,” kata Bentar, senyumnya lugu.

“Oh, iya, Bentar. Terima kasih. Ini urusan stock buku baru,” jawab Marina, sambil menunjukkan sebuah map berisi dokumen kosong.

Inner Monologue (Marina): Anak ini polos banget. Dia nggak tahu di gudang itu nggak ada buku, cuma ada kontol Brama yang siap ngentot aku. Kasihan kamu, Nak. Kamu kerja, Mamamu di sini mau muncrat.

Marina langsung menuju gudang belakang lantai dasar, tempat tumpukan kardus dan rak-rak besi usang. Gudang ini berbeda dengan gudang di kantornya; ini adalah gudang pribadi Brama untuk stok barang langka, dan dia memasang sekat kayu semi permanen untuk memisahkan area istirahat kecil.

Brama sudah menunggunya di balik sekat itu. Ruangan kecil itu hanya berisi satu meja kerja lipat, kursi, dan tumpukan karpet bekas yang dilipat rapi di sudut.

Brama berdiri, mengenakan celana jeans dan kaus tanpa lengan, menunjukkan otot lengannya yang kekar.

“Komisi besar, ya? Senang mendengarnya, Rina,” sapa Brama, suaranya dalam. Ia tidak bergerak, hanya menatap Marina dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Marina menutup pintu sekat kayu dengan kunci slot yang tersembunyi. Ruangan kecil itu langsung terasa pengap dan panas.

“Ini lebih dari komisi, Bram. Ini adalah profit dari Hukum Ranjang yang kamu tetapkan. Sekarang, aku mau hadiahnya. Aku mau ngentot yang nggak tanggung-tanggung,” tuntut Marina, wajahnya memerah karena gairah yang terpendam.

Brama tersenyum miring. “Nggak sabaran. Aku suka itu. Tapi di sini ada aturannya. Di luar sekat ini, ada anak remaja yang mungkin bisa dengar suara kita. Semua harus tertahan. Semua harus bisikan. Semua harus gerakan murni.”

Brama berjalan mendekat, mencengkeram dagu Marina, dan menciumnya dengan ciuman yang mendalam, kasar, dan menuntut.

Marina langsung membalas, gairahnya meledak. Ia menarik kaus Brama, merobeknya sedikit di bahu karena saking tidak sabarnya.

“Ups, maaf. Nggak boleh merobek pakaian, kan? Tapi kamu yang bikin aku gila!” rintih Marina, sambil membuka kancing blus sutranya dengan cepat.

“Aku maafkan, Sayang. Tapi kamu harus bayar denda,” Brama berbisik.

Marina sudah telanjang di bagian atas. Payudara jumbo-nya menggantung bebas, putingnya yang agak panjang dan pink muda sudah menegang, menantang.

Brama melucuti dirinya. Celana jeans dan celana dalamnya langsung dilempar ke sudut. Kontol panjang Brama menyembul keluar, tegang dan keras, siap menusuk.

“Dendanya adalah... kamu harus ngentot aku duluan. Tapi tanpa suara. Semua erangan, semua desahan, harus kamu telan. Kecuali hot talk kita,” perintah Brama.

Marina menyeringai. Mendominasi Brama adalah fantasi terbesarnya.

“Baik, Bos. Aku akan buat kamu muncrat tanpa suara,” jawab Marina, nadanya penuh percaya diri.

Marina naik ke atas meja lipat kerja Brama, melepas rok span dan celana dalamnya, dan duduk di pinggir meja. Ia mengangkat kakinya, siap menyambut.

Brama berdiri di antara kedua kakinya. Kontol panjangnya menyentuh memek Marina yang sudah sangat basah karena anticipasi.

Marina memegang kontol Brama, mengarahkannya, lalu dengan satu gerakan lambat dan penuh kuasa, ia memasukkan kontol Brama ke dalam memeknya.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan, ukurannya! Kenapa rasanya selalu seperti pertama kali? Penuh, padat, dan pas sampai ke dasar! Aku cinta rasa ini. Rasa kemenangan.

Marina mulai menggenjot pinggulnya sendiri, mengendalikan irama. Ia memilih ritme slow-grind, memutar-mutar pinggulnya, memaksimalkan gesekan klitorisnya dengan tulang kemaluan Brama, sambil menyerap kedalaman kontol itu.

Hot Talk (Marina, berbisik parau): “Ini adalah fee premium, Bram. Rasakan pinggulku. Aku menghancurkan kamu perlahan. Lihat ke bawah. Ada Bentar di sana. Dia sedang ngerjain tugas sekolah, sementara aku ngentot ayahnya di balik sekat. Lucu, kan?”

Brama mencengkeram pinggul Marina, mencoba mengendalikan dorongan untuk mengambil alih kendali. Wajahnya menegang menahan kenikmatan dari gerakan grinding Marina yang mematikan.

Hot Talk (Brama, berbisik keras): “Brengsek! Memek kamu licin banget! Rina, kamu gila! Aku mau kamu hentikan gerakan memutar itu! Aku nggak tahan! Muncrat pertama gue bisa pecah sekarang!”

Marina justru tertawa kecil tanpa suara. Ia mempercepat putarannya, lalu tiba-tiba ia menekan dirinya ke bawah, menusuk memeknya dalam-dalam dengan kontol Brama.

Inner Monologue (Brama): Sialan! Dia mendominasi! Aku mau dia berhenti, tapi ini terlalu enak! Kontol gue udah nggak kenal tuan lagi, cuma kenal memeknya Rina!

Gelombang orgasme pertama Marina datang dengan hentakan keras. Ia membungkuk ke depan, menahan erangan kerasnya ke bahu Brama.

ORGASME PERTAMA (MARINA): “Ah! Keluarrr! (Hampir menjerit, tapi hanya terdengar suara napas tercekik) Aku... aku dapat bonus yang lebih bagus dari komisi!”

Kontraksi kuat Marina saat orgasme membuat Brama tidak bisa lagi menahan diri.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): “Aku menyerah! Kamu menang! Ambil semua! Kontol gue muncrat!” Brama mengerang dalam bisikan yang tebal, mendorong dirinya ke atas dan melepaskan air mani pertamanya dengan keras ke dalam Marina.

Mereka berhenti, tubuh mereka basah oleh keringat. Marina masih berada di atas, kontol Brama tetap tertanam di memeknya.

“Sesi kedua, Bos. Sekarang giliran aku yang bayar denda karena kamu robek kaosku,” kata Brama, suaranya sudah kembali tegas.

Brama membalikkan posisi mereka, menarik Marina dari meja dan mendorongnya hingga bersandar pada tumpukan karpet bekas di sudut. Ia memposisikan Marina dalam posisi berdiri, satu kaki Marina diangkat dan dililitkan di pinggangnya. Ini adalah posisi yang sangat rentan, memungkinkan kedalaman maksimal.

Brama memulai sesi kedua dengan hentakan piston yang lambat, menargetkan G-spot Marina dengan presisi mematikan.

Hot Talk (Brama): “Aku mau kamu rasakan setiap detik siksaan ini, Rina. Aku mau kamu ingat bahwa kontol ini adalah satu-satunya yang bisa mengisi kamu. Mando cuma buat display. Aku yang buat kamu muncrat.”

Hot Talk (Marina): “Ya! Aku tahu! Kamu yang muncratkan aku! Lebih keras, Bram! Aku mau kamu hancurkan aku! Angkat aku lebih tinggi! Aku butuh kontol kamu sampai ke ujung rahim!”

Inner Monologue (Marina): Posisi ini gila! Kaki diangkat, kontolnya masuk tanpa ampun. Aku bisa gila! Kenikmatan ini terlalu besar! Aku nggak peduli ada Bentar di luar, aku ingin menjerit dan memberitahu semua orang bahwa Brama adalah nafkah batinku yang sejati!

Brama meningkatkan irama. Cepat, brutal, dan mendalam. Bunyi slapping dari kulit mereka yang bertemu di tengah keheningan gudang menjadi ritme yang memabukkan.

Marina merasakan gelombang orgasme kedua datang, kali ini lebih lama, lebih menguasai seluruh tubuhnya. Itu adalah pelepasan total, pemenuhan janji ganda.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): “KELUAR! Aku keluar! Kontol! Oh kontol!” Marina tidak bisa lagi menahan bisikannya, yang terdengar seperti rengekan panjang yang tertahan. Tubuhnya gemetar hebat.

Brama meraung dalam suara yang sangat pelan. Ia menancapkan kontolnya dalam-dalam. “Ambil semua! Aku muncrat lagi! Aku penuhi kamu dengan air mani gue, Sayang! Aku cinta memek kamu!”

Brama melepaskan sisa-sisa air mani keduanya, yang kental dan panas, memenuhi Marina hingga ia merasa penuh sesak.

Mereka berdua ambruk ke sudut, Brama memeluk Marina yang masih telanjang.

“Sempurna. Sekarang, kamu bisa pulang, Rina. Kamu sudah bersih. Dan jangan lupa, nanti malam Mando akan mencium bau cleaner terbaik di dunia di tubuhmu,” Brama berbisik.

Marina tersenyum puas, memejamkan mata. Ia tahu, selingkuh tiada akhir ini tidak akan pernah berhenti. Ia memiliki segalanya.

“Sampai ketemu lusa, Bram. Aku akan bawa lebih banyak stock Enny Arrow,” balas Marina, bangkit untuk merapikan diri.@Barasaki 

October 9, 2025 6:13 PM

Administrator

Bab 11: Kenikmatan di Ruang Sempit

Jumat, 1 Maret 1990

Pagi itu, Marina merasa mood-nya sedang berada di puncak. Setelah serangkaian ngentot yang memuaskan dari Brama, ia merasa begitu segar dan berdaya. Mando, yang sibuk dengan urusan stasiun radio dan merasa bangga atas ‘kedewasaan’ Marina dalam hubungan mereka, bahkan menawarkan pujian yang membuat Marina tersenyum dalam hati, penuh kemenangan.

“Rin, aku nggak tahu apa yang kamu lakukan, tapi kamu terlihat sepuluh tahun lebih muda. Auranya beda. Aku suka kamu yang sekarang, lebih... bercahaya,” kata Mando saat sarapan, tanpa menyadari bahwa ‘cahaya’ itu datang dari air mani Brama.

Inner Monologue (Marina): Tentu saja aku bercahaya, Mando. Aku baru saja menerima pupuk terbaik untuk memek dan jiwaku. Kamu kira ini perawatan wajah? Ini perawatan kontol!

Marina hari itu memiliki jadwal padat. Dia harus melakukan pengiriman stock ATK ke klien di kawasan industri, menggunakan van perusahaan reseller-nya. Ini adalah kesempatan emas. Setelah mengirim pesan tersandi kepada Brama, mereka mengatur pertemuan rahasia di tempat yang paling tidak terduga, jauh dari YORASAKI dan kantor Mando.

Pesan ke Brama (Tersandi): Pengiriman ke daerah industri sore ini. Aku akan ‘tersesat’ di lahan kosong dekat pabrik lama Panca. Kamu datang 16:00 WIB. Aku mau kamu ngentot aku di dalam van kantor. Kita ambil risiko.

Brama membalas dengan emoji api. Dia menyukai adrenalin.

KAWASAN INDUSTRI TUA – Pukul 16:00 WIB

Marina memarkirkan van putih perusahaannya di sudut gelap sebuah lahan kosong, dikelilingi pagar besi tua dan semak belukar. Lokasinya tersembunyi, namun tetap berisiko tinggi karena ada beberapa pekerja yang lewat.

Marina mematikan mesin, menyalakan radio dengan volume pelan, memilih saluran pop era 90-an yang sedang naik daun. Ia menggeser kursi penumpang sejauh mungkin ke depan, menciptakan ruang sempit di antara jok depan dan jok belakang yang penuh kardus ATK.

Lima menit kemudian, mobil Brama, sebuah sedan tua yang tidak mencolok, meluncur masuk dan parkir agak jauh. Brama berjalan cepat ke arah van.

Marina sudah membuka pintu samping van yang bergeser.

“Ayo, cepat masuk! Aku nggak punya banyak waktu!” bisik Marina, matanya liar karena campuran gairah dan rasa takut ketahuan.

Brama masuk, dan pintu geser van itu ditutup. Ruangan sempit itu dipenuhi aroma kulit sintetis van dan parfum Marina yang sensual.

“Gila, Rina. Ngentot di mobil kantor? Kamu benar-benar sudah di luar kendali,” Brama bergumam, mencengkeram pinggang Marina dan menciumnya.

Ciuman itu intens dan cepat. Tidak ada foreplay yang lambat. Adrenalin membuat segalanya mendesak.

“Aku suka risiko! Aku butuh ini, Bram! Cuma kamu yang bisa! Aku mau kamu hajar aku sekarang juga! Di sini! Di atas inventaris kantor!” Marina mendesis, ia segera membuka kancing celana Brama.

Di ruang sempit itu, mereka tidak bisa berdiri tegak. Marina didorong ke jok belakang yang dilipat, menciptakan permukaan datar yang keras, diselimuti selimut tipis yang biasa ia gunakan untuk menutupi stock barang.

Brama mencengkeram Marina, tubuh mereka berimpitan di antara kardus-kardus pensil, kertas, dan map-map file.

“Aku nggak mau lama, Rina. Aku mau kamu cepat muncrat dan aku mau kamu muncrat karena kontol gue yang paling dalam!” Brama menggeram.

Marina sudah mengangkat roknya. Celana dalamnya sudah disingkap. Memeknya sudah basah, mengundang.

Brama tidak menunggu lama. Ia segera mengarahkan kontol panjangnya dan menusuk Marina.

Inner Monologue (Marina): Sempit, keras, sakit sedikit karena posisinya aneh, tapi GILA! Ini kenikmatan yang memabukkan! Bau keringat Brama, bau bensin tipis dari van ini, dan tekanan keras kontolnya di dalam memekku. Ini adalah perpaduan sempurna dari dosa dan nafkah!

Brama mulai menggenjot dengan ritme yang cepat dan tidak sabar. Karena ruang sempit, ia tidak bisa mengayunkan pinggulnya bebas, melainkan harus menggunakan kekuatan paha dan pinggang untuk menusuk Marina.

Hot Talk (Brama, terengah-engah):Memek kamu jepit kontol gue kenceng banget! Tahan suara kamu, Rina! Aku mau denger kamu rintih pelan! Aku mau kamu gigit bibir kamu sampai berdarah!”

Hot Talk (Marina, berbisik parau): “Lebih dalam! Kenapa lambat sekali?! Aku mau lebih! Kontol! Rasanya seperti aku dicuri! Aku dicuri kontol kamu! Terus, Bram! Aku mau kamu robek memekku dengan kontol kamu!”

Marina mencengkeram sandaran kepala jok, matanya terpejam erat. Setiap hentakan Brama membuat van itu bergoyang pelan, berbahaya jika ada yang melihat. Adrenalin ini membuat gairahnya melambung tinggi.

Inner Monologue (Brama): Sialan! Aku nggak peduli ada orang di luar! Memek Rina adalah jebakan yang paling enak! Aku mau buktikan di mana pun, kapan pun, aku adalah satu-satunya yang bisa bikin dia muncrat sejati!

Brama mengubah iramanya menjadi hantaman brutal yang singkat, menghantam Marina berulang kali. Ini adalah ngentot yang didorong oleh risiko, bukan kelembutan.

Gelombang pertama Marina datang dengan tiba-tiba.

ORGASME PERTAMA (MARINA): “Aaaahhhh…! (Rintihan yang sangat pelan dan tertahan) Jangan berhenti! Aku mau kontol! Aku... krempeng! Memekku kram!”

Kontraksi Marina yang kuat terasa di sekeliling kontol Brama, memicu gelombang balik yang hampir membuat Brama muncrat seketika.

Brama memajukan pinggulnya, beristirahat sejenak sambil tetap tertanam dalam. Ia mengambil jeda, mengatur napas.

“Kamu belum selesai, Sayang. Aku mau kamu rasakan kontol ini di setiap sudut memek kamu,” Brama berbisik.

Brama menarik kontolnya keluar sedikit, lalu memasukkannya kembali dengan sudut berbeda, menargetkan klitoris Marina secara tidak langsung melalui labia bagian dalam.

Marina mendongak, matanya berkaca-kaca karena kenikmatan yang tersiksa.

“Aku benci kamu, Bram. Kamu tahu persis apa yang aku mau!” rintih Marina, sambil menggesekkan pinggulnya, mencoba mengontrol irama.

Brama menarik Marina duduk di pangkuannya, posisi *************** yang sempit dan sembrono di antara kardus.

“Sekarang giliran kamu hajar kontol gue dengan memek kamu. Ambil semua! Aku mau kamu muncrat sampai nggak bisa berdiri!” perintah Brama.

Marina mendominasi, menggenjot tubuhnya dengan gerakan cepat dan naik-turun, membuat kontol Brama bergesekan keras dengan bibir memeknya. Ruangan sempit itu terasa bergetar.

Hot Talk (Marina, berbisik ganas): “Aku menunggangi kamu! Aku menunggangi dosa! Rasakan! Kontol kamu ngentot aku di mobil kantor! Mando nggak akan pernah tahu! Nggak akan pernah!”

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan, gelombang kedua ini berbeda. Lebih dalam, lebih liar. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku! Aku mau ini pecah! Aku mau kontol Brama meledak di dalamku!

Brama mencengkeram pantat Marina yang bahenol, mendorongnya ke bawah dengan setiap dorongan naik.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): “KELUAR! Aku muncrat! Aku hancur!” Marina menjerit pelan, suaranya tertahan di kerongkongan. Tubuhnya menegang keras.

Brama juga merasakan gelombang kedua yang besar dan ganas. Kontolnya berdenyut, melepaskan sisa-sisa air maninya dengan deras ke dalam Marina.

“Aku muncrat! Ambil semua, Sayang! Kontol gue cinta memek lu!” Brama mendesis, memeluk Marina erat-erat, menahan Marina di tempatnya hingga muncratnya selesai.

Mereka ambruk kembali ke permukaan jok yang datar, kontol Brama perlahan melunak di dalam memek Marina. Bau sperma, keringat, dan aroma ATK bercampur menjadi aroma dosa yang manis.

“Itu gila. Kita hampir ketahuan,” kata Marina, tertawa kecil.

“Tapi kamu dapat bonus yang lebih bagus dari komisi, kan?” Brama menyeringai, mulai merapikan pakaiannya.

Marina mengangguk puas. “Sempurna. Sekarang, aku harus mengantar pesanan. Sampai ketemu lusa. Aku akan carikan kamu stock baru Enny Arrow.”

Marina merapikan rok dan blusnya, meninggalkan van itu dengan langkah yang jauh lebih ringan. Tugas reseller-nya baru saja terasa sangat, sangat menyenangkan.@Barasaki 

October 9, 2025 6:14 PM

Administrator

Bab 12: Pertaruhan Sperma di Rahim Marina

Minggu, 3 Maret 1990

Pagi itu, suasana sarapan di rumah Marina dan Armando terasa hangat, dipenuhi aroma roti panggang dan kopi. Dino, duduk di kursinya, mengayun-ayunkan kaki kecilnya. Mando sedang membaca koran, sementara Marina menyajikan piring.

Tiba-tiba, keheningan nyaman itu pecah oleh pertanyaan lugu dari Dino.

“Mama, Papa, aku mau tanya dong,” kata Dino, wajahnya terlihat serius seperti anak kecil yang sedang memecahkan masalah besar di sekolah.

“Tanya apa, Nak?” jawab Marina lembut, duduk di seberang Mando.

“Teman-teman di kelasku semua punya adik. Cuma aku yang nggak punya. Kapan aku punya adik, Ma? Aku mau jadi Kakak,” ucap Dino, nada suaranya sedikit merajuk.

Marina terdiam. Pertanyaan itu, yang seharusnya mudah dijawab, terasa seperti jarum yang menusuk tepat ke inti masalah rumah tangga mereka. Mando menurunkan korannya, tatapan mata mereka bertemu di tengah meja. Ada campuran rasa bersalah dan kebingungan di mata Mando.

Inner Monologue (Armando): Astaga. Anaknya sudah nuntut. Kenapa aku sekarang jadi malas? Aku masih mencintai Marina, tapi gairah itu... Aku bahkan nggak ingat kapan terakhir kali kami benar-benar total dan muncrat di dalam.

Inner Monologue (Marina): Lihat, Mando. Anakmu sendiri yang minta. Ini bukan salahku aku harus mencari kontol lain. Aku sudah melakukan yang terbaik untuk ‘bercahaya’ di matamu, tapi nafsu prokreasi kamu sudah mati.

“Nanti ya, Sayang. Mama dan Papa usahakan,” jawab Marina, berusaha terdengar tenang, meskipun jantungnya berdetak kencang. Ia tahu, permintaan Dino ini harus diselesaikan, dan ia tahu betul siapa yang bisa memberinya solusi.

Malam harinya, setelah Dino tidur dan Mando sibuk di ruang kerjanya menyiapkan siaran, Marina segera menghubungi Brama melalui telepon umum di luar rumah, untuk menghindari jejak tagihan.

“Bram, ini masalah serius,” bisik Marina, suaranya tegang.

“Apa? Mando sudah curiga?” tanya Brama dari seberang.

“Bukan. Tapi Dino… Dia minta adik. Mando cuma bisa melirikku panik. Mereka minta aku untuk hamil, Bram. Aku nggak mau jadi kentang di depan anakku sendiri,” cerita Marina.

Brama tertawa kecil. Suaranya terdengar dingin dan berkuasa, seolah ini adalah tantangan bisnis yang menarik.

“Itu bagus, Rina. Berarti Mando sekarang akan sering ‘mencoba’. Dengarkan hukum baruku. Ini hukum paling penting,” kata Brama.

Marina menahan napas.

“Satu, kalau Mando minta ngentot, kamu harus layani dia dengan tulus. Nikmati sentuhannya. Buat dia merasa dia adalah suami terbaik di dunia. Jangan ganggu sperma dia yang masuk ke rahimmu. Biarkan mereka berenang bebas mencari rumah.”

“Dua,” lanjut Brama, suaranya semakin rendah dan sensual, “sperma gue juga nggak boleh diganggu. Kita akan lakukan ngentot terencana. Aku mau kontol gue masuk paling dalam, dan aku akan muncrat dua kali. Kita biarkan secara alami. Biarkan sperma yang berjuang. Sperma yang menang, dia yang jadi Papanya adik Dino.”

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan! Ini pertaruhan gila! Aku akan mengandung anak dari kontol yang menang. Anak yang akan jadi bukti perselingkuhan abadi. Aku takut, tapi... aku terangsang!

“Jadi, kapan kita mulai ritual pertarungan sperma ini, Bram?” tantang Marina, suaranya sudah berubah menjadi parau.

“Besok sore, di tempat biasa. Kali ini, kita akan ngentot tanpa celana dalam dan full-penetration. Aku mau kamu datang sudah bersih dan siap diisi. Aku akan siapkan kamu untuk jadi ratu prokreasi.”

TOKO BUKU YORASAKI – Senin, 4 Maret 1990

Marina tiba di RUKO YORASAKI sekitar pukul 15:45 WIB. Ia mengenakan dress longgar berwarna khaki yang mudah dilepas. Ia mengabaikan Bentar yang sedang sibuk menyusun buku baru di rak.

Brama sudah menunggunya di kamar lantai dua. Kamar itu diselimuti suasana tenang, namun tegang. Aroma dupa yang lembut bercampur dengan musk khas Brama. Di atas kasur, ada bantal tambahan untuk mengangkat pinggul.

“Aku tahu kamu tegang. Tapi ini bukan tentang takut, Rina. Ini tentang hak. Hak kamu untuk memilih kontol mana yang bisa memberi kamu keturunan sempurna,” Brama menenangkan, sambil memeluk Marina dari belakang, tangannya meraba perut rata Marina.

Marina berbalik. “Aku nggak sabar, Bram. Aku mau kontol kamu menghajar aku. Aku mau kamu tunjukkan kenapa sperma kamu yang harus menang!”

Mereka segera melucuti pakaian masing-masing. Dress khaki Marina meluncur jatuh, meninggalkan ia benar-benar telanjang. Payudara jumbo Marina, yang dirawat dengan minyak herbal Brama, tampak padat dan menantang.

Brama mendorong Marina ke kasur. Ia tidak membiarkan Marina melakukan foreplay yang panjang. Fokusnya adalah penetrasi.

Brama menyebar kaki Marina, dan tanpa basa-basi, ia segera mengarahkan kontol panjangnya.

“Aku masuk sekarang, Rina. Aku nggak mau satu tetes pun terbuang. Rasakan ini sebagai suntikan kehidupan,” bisik Brama, sambil perlahan, namun pasti, menusukkan kontolnya.

Inner Monologue (Marina): Ya ampun, kedalamannya. Ini bukan lagi ngentot biasa. Ini ritual. Aku bisa merasakan ujung kontolnya menyentuh rahimku. Sakit sedikit, tapi kenikmatan dari penguasaan ini jauh lebih besar.

Brama memulai genjotan pertama dengan irama lambat, sengaja menekan setiap dorongan ke dalam, membiarkan memek Marina beradaptasi dengan kedalaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hot Talk (Brama): “Aku mau kamu rasakan setiap inci kontol gue! Ini adalah sperma yang akan jadi anakmu, Rina! Bayangkan kontol gue menghajar rahimmu! Aku mengklaim kamu, Sayang!”

Hot Talk (Marina): “Ya! Klaim aku! Penuh! Aku penuh! Aku mau kamu ngentot sampai kontol kamu berdenyut di rahimku! Aku butuh sperma! Berikan aku benihmu!”

Marina mencengkeram sprei kasur, punggungnya melengkung. Genjotan Brama yang dalam dan perlahan membuatnya tegang di ambang batas.

Brama menarik Marina ke pinggir kasur, mengganti posisi menjadi ***********, mengangkat pinggul Marina tinggi-tinggi dengan bantal agar gravitasi membantunya mencapai kedalaman maksimal.

Brama menggenjot dengan kekuatan penuh, menghantam Marina seperti palu godam. Setiap dorongan adalah janji kehidupan baru.

Inner Monologue (Brama): Aku harus menang. Kontol gue harus menang. Aku akan berikan dia kepuasan prokreasi yang tidak bisa diberikan Mando. Aku adalah dewa nafkah dan kehidupan barunya!

Marina merasakan sensasi grinding yang brutal dan mendalam. Memeknya terasa ditarik dan diremas oleh gerakan Brama.

Gelombang orgasme pertama Marina datang saat Brama menusuknya hingga ke dasar, menggetarkan seluruh sarafnya.

ORGASME PERTAMA (MARINA): “Ahhh! Keluar! Kontol! Itu kena! Kontol kamu kena di tempat terdalam! Terus! Jangan berhenti! Aku mau spermamu! Aku mau kontolmu muncrat!” Marina meraung tertahan ke bantal.

Kontraksi hebat Marina memicu Brama. Ia mencengkeram pinggul Marina dan melanjutkan genjotan brutalnya.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): “Aku suka suara memek kamu mencengkeram! Aku akan kasih kamu benih terbaik, Rina! Muncrat pertama gue!” Brama mendesis, menggenjot keras dan melepaskan air mani pertamanya dengan ledakan yang mendalam ke dalam Marina.

Brama menahan kontolnya di dalam, tidak bergerak, membiarkan sperma pertamanya berenang. Ia mengatur napas.

“Sesi kedua, Rina. Ini untuk memastikan. Dan kali ini, aku mau kamu muncrat lebih keras dan lebih lama,” kata Brama, suaranya parau.

Brama membalikkan Marina, menariknya ke posisi spooning (berpelukan dari belakang) yang intim. Posisi ini memungkinkan keintiman fisik, namun tetap menjaga kedalaman penetrasi.

Brama mulai menggenjot dengan irama slow-burn, gesekan kulit ke kulit yang sensual, namun setiap dorongan tetap mencapai dasar.

Hot Talk (Brama):Kontol gue sekarang berada di sebelah sperma Mando. Aku bilang ke mereka, ‘Kalian harus bertarung! Kalian harus buktikan siapa yang pantas jadi ayah!’”

Hot Talk (Marina):Sperma Mando tidak akan punya peluang! Aku butuh kontol kamu! Kamu yang paling pantas! Hentikan aku, Bram! Aku akan muncrat lagi! Aku mau kontol kamu meledak di dalamku!”

Genjotan Brama semakin cepat, semakin brutal, diiringi rintihan gairah Marina yang kini tak tertahankan.

Inner Monologue (Marina): Gelombang kedua ini adalah keajaiban! Aku merasa memekku menyedot semua air maninya! Aku ingin dia mengisi aku sampai penuh! Sampai rahimku tersenyum!

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): “KELUAR! AKU KELUAR! KONTOL BRAMA!” Marina menjerit, suaranya teredam di bantal. Tubuhnya menegang total.

Brama merasakan kontraksi Marina dan itu adalah sinyalnya. Ia menggenjot tiga kali terakhir dengan kekuatan dahsyat.

“Ambil semua! Aku muncrat! Sperma gue akan jadi juara, Sayang! Aku isi kamu penuh!” Brama meraung, melepaskan sisa-sisa air mani keduanya, yang meluap dan terasa panas di dalam Marina.

Brama menarik kontolnya keluar dengan suara lengket, dan membalikkan Marina menghadapnya. Ia memeluk Marina erat-erat, menjaga Marina tetap berbaring dengan pinggul terangkat.

“Jangan bergerak, Rina. Biarkan gravitasi bekerja. Biarkan sperma gue berenang dan menang. Kamu akan segera punya anak. Entah dari kontol Mando, atau dari kontol gue. Tapi kamu tahu, siapa yang benar-benar jadi Papa dari anak itu,” Brama berbisik di telinga Marina, penuh kemenangan.

Marina hanya bisa tersenyum puas, memejamkan mata. Pertaruhan gila ini baru saja dimulai, dan dia sudah merasa menang.

“Sampai ketemu lusa, Bram. Aku akan berakting tulus di depan Mando, demi sperma kita,” tutup Marina, mencium Brama singkat, sebelum bangkit untuk merapikan diri dan kembali ke perannya sebagai istri CEO yang mendambakan anak.@Barasaki 

October 9, 2025 6:14 PM

Administrator

Bab 13: Akting Tulus dan Inseminasi Dini

Selasa, 5 Maret 1990

Pagi itu, Marina bangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia adalah seorang istri dan ibu yang terbebani oleh permintaan anaknya dan kewajiban prokreasi. Di sisi lain, ia adalah pion dalam permainan birahi gila yang diatur Brama, sebuah permainan yang menjanjikan kenikmatan dan keuntungan finansial serta biologis.

Setelah mengantar Dino ke sekolah bersama Mando, Marina menghabiskan hari di kantor, menyelesaikan laporan penjualan yang membuat kepalanya pusing. Namun, ia tidak bisa berhenti memikirkan misi malam nanti: ngentot tulus dengan Mando, diikuti oleh ngentot kemenangan dengan Brama.

Sekitar pukul 19:30 WIB, setelah makan malam, Mando terlihat duduk di sofa ruang keluarga, membaca majalah bisnis. Marina mendekatinya, duduk di samping, dan menyandarkan kepala di bahunya. Ia mulai menjalankan skenario.

“Mando,” bisik Marina manja. “Aku kepikiran omongan Dino kemarin. Aku... aku mau kita usaha lagi. Aku mau kita kasih Dino adik.”

Mando, yang terkejut dengan inisiatif yang sudah lama hilang itu, memejamkan mata sejenak, kemudian tersenyum lembut. Aura Marina yang "bercahaya" belakangan ini memang membuatnya lebih tertarik.

Inner Monologue (Armando): Syukurlah. Marina kembali berinisiatif. Aku merasa bersalah karena telah mengabaikannya. Malam ini, aku akan berusaha keras. Demi Dino, dan demi tubuh Marina yang memang masih membuatku gila.

Mando menutup majalahnya. Ia mengangkat Marina, menggendongnya menuju kamar tidur utama.

“Malam ini, kita kembali ke masa pacaran, Rin. Aku mau kita total,” janji Mando, suaranya dipenuhi keinginan yang tulus.

Di kamar, suasana terasa berbeda. Mando menyalakan lilin aroma terapi yang jarang mereka gunakan. Marina tersenyum, memainkan peran sebagai istri yang mendambakan kehangatan.

Mando membuka gaun tidur sutra Marina perlahan. Saat payudara jumbo Marina terlihat, Mando menarik napas dalam.

“Kamu itu, Rin… bentuk tubuhmu tidak pernah berubah. Kamu perfect,” puji Mando, tangannya membelai pinggang kecil dan perut datar Marina.

Marina berbaring, membiarkan Mando menikmati setiap inci kulitnya. Mando memulai dengan ciuman lembut, turun ke leher, dan berakhir di payudara. Ia mengulum puting Marina yang agak panjang dan berwarna pink muda dengan penuh kasih sayang, tetapi juga sedikit terburu-buru.

Inner Monologue (Marina): Sentuhan Mando lembut, penuh perasaan. Tapi tidak ada tekanan, tidak ada dominasi. Aku harus berakting. Aku harus merasa terangsang secara visual dan emosional, tapi tidak secara fisik sampai aku muncrat.

Marina membiarkan Mando menggerayangi seluruh tubuhnya, merespons setiap sentuhan dengan desahan tulus yang ia pelajari dari ngentotnya bersama Brama.

Mando melepaskan celana dalamnya. Kontol Mando sudah tegang, namun tidak sebesar dan sepanjang milik Brama.

Marina mencium Mando dengan ciuman panjang, kemudian membiarkan Mando membawanya ke posisi misionaris.

Mando mulai menusuknya. Gerakannya penuh cinta, namun sedikit terstruktur.

Inner Monologue (Marina): Rasanya... nyaman. Hanya itu. Tidak ada sensasi robek, tidak ada rasa dihajar. Aku harus menjaga kontraksi memekku agar tidak terlalu kuat, jangan sampai sperma Mando terdesak keluar.

Hot Talk (Armando): “Kamu indah sekali, Rin. Aku cinta kamu. Rasakan aku. Aku ingin kamu jadi ibu lagi, Sayang.”

Hot Talk (Marina, akting tulus): “Aku juga cinta kamu, Mando. Lanjutkan, Sayang. Aku… aku mau kamu sekarang!”

Marina mulai menggenjot pinggulnya melawan Mando, menciptakan gesekan yang mendukung Mando mencapai klimaks. Marina memejamkan mata, memikirkan detail kontol panjang Brama untuk memicu dirinya agar orgasmenya terlihat meyakinkan.

Setelah beberapa menit genjotan yang konsisten, Mando mencapai klimaks.

ORGASME (ARMANDO – ASLI): “Rin! Aku datang! Aku muncrat! Aku muncrat di dalam kamu! Semoga jadi, Sayang!” Mando mengerang, memeluk Marina erat dan melepaskan spermanya.

Marina membiarkan Mando memeluknya hingga kontol Mando melunak di dalam.

ORGASME (MARINA – PALSU): Tepat saat Mando selesai, Marina melakukan akting orgasme yang sempurna: mengerang keras, memeluk Mando seolah-olah ia baru saja mencapai puncak. “Oh, Mando… itu indah! Aku muncrat!”

Inner Monologue (Marina): Selesai. Bagus, Mando. Sperma kamu sudah masuk. Sekarang, aku harus segera mencuci kamu dengan sperma Brama.

Mereka berbaring sejenak, Mando tertidur pulas dengan senyum puas.

Pukul 22:30 WIB – Malam yang Sama

Setelah memastikan Mando terlelap, Marina beranjak pelan. Ia tidak membersihkan diri. Ia hanya mengenakan tank top dan celana pendek longgar. Ia mengambil kunci mobil dan beralasan kepada Dino (jika terbangun) bahwa ia harus mengambil dokumen penting di kantor.

Dia segera meluncur menuju RUKO YORASAKI.

Marina mengirim pesan singkat ke Brama: Misi A selesai. Target butuh pembersihan dan inseminasi ulang. Aku datang sekarang.

Saat Marina tiba, Toko YORASAKI sudah gelap. Brama menunggunya di depan pintu samping yang mengarah ke tangga lantai dua.

Brama menyambut Marina dengan tatapan tajam. Ia bisa mencium aroma samar Mando, dan itu membuatnya cemburu sekaligus terangsang.

“Kamu bawa sperma dia ke sini, Rina?” Brama bertanya tajam, langsung menarik Marina ke kamar tanpa basa-basi.

“Iya, Bram. Aku berakting tulus. Sekarang, kamu tunjukkan kenapa kontol kamu harus menang. Aku mau sperma kamu membunuh sperma dia!” tantang Marina, suaranya penuh birahi dan adrenalin.

Mereka berdua telanjang dalam hitungan detik. Di atas kasur, Brama mendorong Marina ke posisi mengangkang di atasnya, lutut Marina di bahu Brama. Ini adalah posisi yang memungkinkan kedalaman maksimum dan fokus pada rahim.

“Aku akan ngentot kamu dengan semua kekuatan kontol gue, Rina. Aku mau kamu ingat rasa kontol ini, bukan kontol suami kamu!” geram Brama, mencengkeram pantat Marina dan mulai menusuknya.

Inner Monologue (Brama): Sialan. Aku harus membuktikan dominasi kontol gue. Aku bisa merasakan memeknya yang basah, sedikit berlendir dari sisa sperma Mando. Aku akan hajar dia sampai memeknya hanya merasakan gue!

Genjotan Brama kali ini terasa brutal, cepat, dan sangat dalam. Ia tidak peduli dengan ritme sensual; ini adalah serangan penuh ke rahim Marina.

Hot Talk (Brama, penuh kuasa): “Aku dorong spermanya Mando jauh ke samping! Ini giliran sperma gue yang masuk, Rina! Rasakan kontol gue di rahim kamu! Aku yang paling berhak mengisi kamu!”

Hot Talk (Marina, merintih kesakitan dan kenikmatan): “Iya! Ini yang aku mau! Kontol kamu menghancurkan aku! Sakit, Bram! Tapi itu enak! Aku mau kamu robek tempatnya Mando! Kontol! Terus! Lebih cepat! Aku mau muncrat!”

Marina mencengkeram rambut Brama, pinggulnya terangkat. Setiap hantaman Brama terasa seperti kejutan listrik di sekujur tubuhnya.

Brama menarik Marina ke posisi standing (berdiri) sebentar, membelakangi jendela yang tertutup, dan mengangkat satu kaki Marina ke pinggulnya.

“Lihat aku, Rina. Kamu adalah milik kontol gue!” Brama memerintah, sambil menusuk Marina dari belakang dengan sudut yang lebih mematikan.

Marina menatap pantulan dirinya di jendela gelap, melihat kontol panjang Brama menusuknya tanpa ampun.

Inner Monologue (Marina): Aku dicuri. Aku benar-benar dicuri oleh kenikmatan ini. Mando memberi aku rasa aman, tapi Brama memberi aku kehidupan sejati. Aku harus muncrat untuk Brama!

Genjotan Brama mencapai ritme yang liar. Marina merasa memeknya berdenyut keras di sekeliling pangkal kontol Brama.

Gelombang pertama Marina datang dengan teriakan tertahan.

ORGASME PERTAMA (MARINA): “Hah…! KELUAR! Gila! Kontol! Aku muncrat! Ini sperma kemenangan!” Marina menjerit, tubuhnya bergetar hebat dalam pelukan Brama.

Kontraksi Marina memicu Brama. Ia memejamkan mata, menggenjot tiga kali terakhir dengan kekuatan maksimal.

ORGASME PERTAMA (BRAMA): “Aku datang, Sayang! Aku isi kamu! Ini adalah dosis pertama untuk adik Dino! Sperma gue menang!” Brama meraung, melepaskan air mani pertamanya dengan letusan yang dalam.

Brama tidak mencabut kontolnya. Ia membiarkan sperma pertamanya berenang dengan agresif, membiarkan tubuh Marina tenang.

“Sesi kedua. Kali ini ***********. Aku mau kontol gue sampai ke lambung kamu,” bisik Brama, membalikkan Marina.

Brama memposisikan Marina dalam *********** di tepi kasur. Ia mengoleskan minyak herbal di sekitar klitoris Marina, meningkatkan sensitivitasnya.

Hot Talk (Brama): “Aku mau kamu memek kamu basah kuyup karena minyak ini dan air mani gue! Aku mau kamu merengek kayak bayi, Rina! Tapi kali ini, kamu merengek untuk Papa kontolmu!”

Genjotan kedua ini lebih fokus dan mendalam. Setiap dorongan adalah desakan dari Brama untuk mengklaim Marina.

Inner Monologue (Brama): Sisa sperma Mando sudah selesai. Ini giliran sperma gue. Aku akan pastikan dia menang. Aku akan menanam benih gue di rahim istri orang!

Marina tidak bisa menahan suara. Ia mencengkeram sprei, air matanya menetes, bukan karena sakit, tetapi karena kenikmatan yang begitu intens dan mendalam.

Hot Talk (Marina, berbisik parau): “Aku mau kamu muncrat! Aku mau kontol kamu ngentot aku! Aku mau spermamu! Jangan tarik! Tinggalkan semua di dalam! Aku mau! Aku butuh!”

Brama mencapai puncaknya bersamaan dengan gelombang kedua Marina yang sangat hebat.

ORGASME KEDUA (MARINA & BRAMA): “LEDAKKAN AKU! KONTOL BRAMA!” Marina menjerit, tubuhnya menegang dan bergetar hebat.

Brama menggenjot dengan kekuatan terakhirnya. “AKU KELUAR! AMBIL SEMUA! SPERMA INI MILIKMU! ADIK DINO MILIK KITA!”

Brama ambruk di atas Marina, kontolnya masih keras dan berdenyut di dalam. Mereka berdua terengah-engah, tubuh Marina basah oleh keringat.

Setelah beberapa menit, Brama menarik diri. Air maninya meluap keluar, berceceran di paha Marina.

“Aku sudah memberimu dosis terbaik, Rina. Sekarang, kembali ke Mando. Dan tunggu kabar baiknya,” Brama berbisik, mencium kening Marina.

Marina merapikan pakaiannya, tubuhnya terasa pegal namun jiwanya puas. Ia mencium Brama singkat, meninggalkan RUKO YORASAKI menuju rumahnya. Ia membawa aroma dosa dan potensi kehidupan baru dari Brama.@Barasaki 

October 9, 2025 6:15 PM

Administrator

Bab 14: Badai yang Datang dari Suami

Rabu, 6 Maret 1990

Langit di atas Jakarta malam itu terasa tenang, namun di kamar tidur utama pasangan Armando dan Marina, badai gairah tak terduga sedang berkumpul.

Setelah keberhasilan ‘misi akting tulus’ malam sebelumnya—dan ‘pembersihan’ total oleh Brama—Marina mengira malam ini akan sama: Mando akan mencoba lagi dengan semangat, muncrat dengan cepat, dan ia bisa kembali mencari kepuasan sejati pada Brama keesokan harinya.

Namun, sejak Mando pulang dari NOSTALGIA FM, auranya berbeda. Ia tampak sangat energik, sorot matanya tajam, penuh tekad, seolah ia baru saja memenangkan negosiasi bisnis terbesar dalam hidupnya.

Saat makan malam, ia sering menatap Marina, senyumnya menyiratkan janji yang membuat Marina sedikit merinding.

“Rin, malam ini kamu nggak usah ke mana-mana. Aku sudah minta Bu Lastri bantu urus Dino besok pagi. Hari ini, aku cuma mau kamu, dan aku mau kita fokus buat adik Dino,” kata Mando, suaranya dalam dan berwibawa, jauh dari nada kelelahan biasanya.

Inner Monologue (Marina): Wow. Mando serius. Dia pasti merasa tertekan oleh Dino, dan mungkin performa ‘akting tulus’ku semalam benar-benar memicu harga dirinya. Aku harus bersiap untuk ngentot yang lumayan panjang malam ini. Tapi... akting lagi.

Setelah Dino tidur, suasana di kamar langsung berubah intens. Mando tidak menyalakan lilin aroma terapi. Ia hanya menyisakan lampu tidur yang redup, menciptakan bayangan sensual di sudut kamar.

Mando mendekati Marina yang sudah berbaring dengan gaun tidur sutra. Kali ini, ia tidak buru-buru. Ia membuka gaun Marina perlahan, tidak dengan tangan, melainkan dengan mulutnya, menciumi kulit di sepanjang kancing.

“Malam ini, aku mau kamu lupa segalanya, Rin. Aku mau kamu benar-benar muncrat karenaku. Aku sudah belajar banyak,” bisik Mando, suaranya serak.

Inner Monologue (Marina): Belajar apa? Dari buku bisnis? Atau dia diam-diam beli kaset ‘pendidikan’ dari luar negeri?

Mando memulai foreplay yang belum pernah Marina rasakan darinya. Ia fokus pada bagian-bagian sensitif yang biasanya diabaikan. Ia membelai paha dalam Marina dengan lidahnya, naik perlahan hingga mencapai bibir memek Marina.

Marina terkejut. Mando tidak pernah se-vulgar ini. Mando biasanya langsung ke puting atau penetrasi cepat.

“Mando… kamu… apa yang kamu lakukan?” bisik Marina, suaranya tercekat.

“Aku memuja kamu, Sayang. Aku mau kamu basah. Aku mau kamu siap meledak di tanganku,” jawab Mando, sambil mulai mengulum klitoris Marina dengan keahlian yang baru.

Sensasi yang datang dari lidah Mando sangat berbeda dari sentuhan Brama. Brama fokus pada tekanan dan kecepatan. Mando fokus pada sentuhan lembut, namun konsisten, dengan tekanan yang semakin meningkat.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan, ini nyata. Aku mulai terangsang! Sentuhannya detail sekali. Aku mulai... basah kuyup! Kenapa aku tidak pernah tahu Mando bisa se-ahli ini?

Marina mencengkeram sprei. Lidah Mando terasa seperti sihir yang lembut namun mematikan. Gairahnya naik tak terbendung, melepaskan semua ketegangan dari hari-hari sebelumnya.

Gelombang pertama datang dengan tiba-tiba, terasa seperti ledakan air panas.

ORGASME PERTAMA & SQUIRT PERTAMA (MARINA – ASLI): “Ahhh! Mando! Jangan! Aku… aku keluar! SQUIRTTT!” Marina menjerit pelan, punggungnya melengkung, dan ia merasakan luapan air panas yang deras, membasahi wajah Mando dan sprei.

Mando tersenyum puas, masih berada di sana, menikmati hasil karyanya. Ia mendongak, wajahnya basah, matanya penuh gairah.

“Itu baru pemanasan, Sayang. Kontol gue belum masuk,” ujar Mando, suaranya penuh kemenangan.

Mando beranjak, tubuhnya diselimuti aura kepercayaan diri yang seksi. Marina menatap kontol suaminya. Ia benar-benar terkejut. Kontol Mando malam itu terlihat lebih panjang dan tebal dari biasanya, uratnya menegang, memancarkan dominasi yang dulu hanya ia temukan pada Brama.

Inner Monologue (Marina): Aku salah! Aku kira kontol Brama yang paling besar dan panjang. Tapi malam ini, kontol Mando… dia lebih gemuk! Lebih keras! Rasanya dia membesar hanya untuk menuntut aku!

Mando menindih Marina. Ia mengangkat kedua kaki Marina ke bahunya, sebuah posisi yang Brama gunakan untuk penetrasi terdalam.

“Aku masuk, Sayang. Aku akan ngentot kamu dengan semua cinta dan gairah yang aku punya. Aku mau memek kamu hanya mengingat aku!” Mando menggeram, dan ia menusukkan kontolnya.

Marina merasakan tekanan yang luar biasa. Kontol Mando yang membesar terasa memenuhi setiap rongga memeknya.

“Ah! Besar! Kontol kamu… besar, Mando!” rintih Marina, antara terkejut dan senang.

Mando memulai genjotan. Iramanya lambat pada awalnya, tapi kekuatannya konsisten, menekan Marina hingga ke dasar. Kemudian, Mando beralih ke genjotan yang smooth dan ritmis, meniru gerakan tari yang menggoda. Durasi permainan Mando malam itu melampaui kebiasaannya, bahkan lebih lama dari rata-rata permainan Brama yang biasanya fokus pada double climax cepat.

Hot Talk (Armando): “Aku denger suara memek kamu menjepit kontol gue, Rin. Kamu suka kan? Aku mau kamu jerit nama aku. Aku mau kamu basah lagi, Sayang. Buat sperma kita bahagia!”

Mando mengubah posisi, menarik Marina ke tepi kasur, membiarkan tubuhnya menggantung sedikit. Ia menggenjot dari bawah, menargetkan G-spot Marina dengan presisi mematikan.

Inner Monologue (Marina): Tidak mungkin! Ini bukan Mando yang dulu! Kontol ini terasa seperti mesin pendorong yang tidak kenal lelah! Setiap dorongan membuat perutku mulas karena kenikmatan. Aku bisa merasakan sperma Mando semalam masih ada di dalam, dan kontolnya sedang membersihkan dan menguatkannya!

Mando mempercepat irama. Marina merasa memeknya mulai berdenyut tanpa henti, memohon lebih banyak lagi.

Gelombang kedua datang lebih cepat dan lebih keras dari yang pertama.

ORGASME KEDUA & SQUIRT KEDUA (MARINA – ASLI): “STOP! Aku… AKU KELUAR LAGI! KONTOL! Kamu ngentot aku sampai pingsan! SQUIRTTTT!” teriak Marina, meluapkan air panas kedua kalinya. Tubuhnya bergetar tak terkontrol.

Mando hanya tersenyum dingin. Ia tidak berhenti. Ia melanjutkan genjotan dengan irama yang tetap stabil dan cepat, menantang Marina untuk mencapai batasnya.

“Aku belum selesai, Rin. Aku mau kamu merengek kayak anak kecil. Aku mau kamu menangis karena nikmat,” kata Mando, wajahnya berkeringat namun matanya berapi-api.

Durasi permainan terus berlanjut. Ini terasa seperti siksaan terindah. Marina sudah kelelahan, namun setiap dorongan Mando menciptakan energi baru. Ia merasa memeknya membengkak karena gesekan dan aliran darah.

Mando menarik Marina ke posisi spooning, penetrasi dari belakang. Ia berbisik kata-kata mesra sekaligus vulgar di telinga Marina, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Hot Talk (Armando): “Aku suka pantat bahenol kamu menggoyang kontol gue, Rin. Biarkan kontol gue merobek kamu dari belakang! Kamu itu tambang emas kenikmatan gue, Sayang! Aku isi kamu penuh!”

Marina mencengkeram pinggul Mando dengan erat. Ia tidak mau kehilangan koneksi ini. Kenikmatan ini murni dan mengejutkan.

Inner Monologue (Marina): Aku tidak bisa percaya. Armando… suamiku… kontolnya membuat aku lupa Brama. Aku tidak peduli sperma siapa yang menang, aku hanya mau kontol ini tetap di dalamku! Aku tidak boleh kasih tahu Brama. Ini rahasia terbesarku.

Mando merasakan kontraksi terakhir Marina. Ia tahu ini adalah puncaknya. Ia menarik Marina menghadapnya, menatap matanya dalam-dalam. Ia melakukan hentakan tunggal yang sangat kuat, sangat dalam, membuat memek Marina ngilu dan menjerit dalam diam.

ORGASME KETIGA & SQUIRT KETIGA (MARINA – ASLI/PUNCAK): “JANGAN! AAAHHH! NGILU! AKU KELUAR HABIS! AKU HAMPIR PINGSAN!” Marina menjerit, tubuhnya kaku total, gelombang ketiga squirt membasahi Mando.

Mando merasakan kontraksi hebat itu. Ia menggenjot tiga kali terakhir dengan seluruh sisa tenaganya, melepaskan gelombang spermanya dengan deras dan hangat.

ORGASME (ARMANDO – ASLI/PUNCAK): “AMBIL SEMUA, RINA! Sperma gue cinta kamu! Aku muncrat!” Mando meraung, ambruk di atas Marina.

Mereka terengah-engah. Mando tidak mencabut kontolnya. Ia hanya memeluk pinggul Marina, membiarkan tubuhnya beristirahat di atas Marina, tenggelam dalam kehangatan pasca-klimaks.

Keringat, air, dan air mani membasahi tubuh mereka dan sprei.

Mando mengangkat kepalanya sedikit.

“Gimana, Sayang? Kamu menikmatinya?” tanya Mando, suaranya sangat serak, namun penuh kepuasan.

Marina memeluk pinggul Mando dengan sangat erat, tidak mau kontol Mando bergeser sedikit pun. Rasa ngilu yang tersisa di memeknya adalah bukti kenikmatan yang otentik.

“Tentu aku suka, Mando… aku suka sekali. Kamu hampir membuat aku pingsan… Kamu luar biasa,” jawab Marina jujur, menyembunyikan keterkejutannya.

Mereka berpelukan erat, kontol Mando yang mulai melunak namun tetap tertanam di dalam memek Marina.

Inner Monologue (Marina): Armando. Kamu gila. Kontol kamu… kamu benar-benar membuat aku muncrat tiga kali, dan itu squirt! Aku tak mungkin memberitahu Brama. Bagaimana kuatnya Armando ngentot aku hari ini. Brama akan marah dan cemburu. Ini terlalu nikmat. Biarlah ini tetap jadi rahasia Rina dan suaminya.

Marina memejamkan mata, memeluk Mando. Ia tahu, 'pertarungan sperma' baru saja mendapatkan pesaing yang sangat tangguh, dan permainan ini menjadi jauh lebih rumit, namun seribu kali lebih nikmat. Mando secara tidak sengaja telah membuat Marina semakin tenggelam dalam hidup ganda ini.@Barasaki 

October 9, 2025 6:16 PM

Administrator

Bab 15: Bau Suami dan Kontrol Sang Juara

Kamis, 7 Maret 1990

Marina tiba di Toko Buku YORASAKI dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Bukan karena risiko ketahuan, melainkan karena rasa bersalah dan gairah yang saling bertarung di dalam dirinya. Semalam, kontol Mando telah memberinya sensasi ngilu yang jujur dan tak terduga, sesuatu yang harus ia sembunyikan rapat-rapat dari Brama.

Ia sengaja memilih outfit yang lebih formal untuk menutupi getaran cemasnya. Di meja kasir, Bentar sedang melayani seorang mahasiswa yang mencari buku sejarah. Marina memberi kode pada Bentar dan langsung menuju tangga lantai dua.

Brama sudah menunggunya. Ia duduk santai di sofa kulit di kamarnya, membaca laporan keuangan YORASAKI, namun matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Marina saat ia melangkah masuk.

“Laporan penjualan ATK sudah ada di tas, Bram. Dan aku sudah dapat beberapa judul baru Enny Arrow. Aku yakin itu akan laris,” kata Marina, berusaha terdengar profesional.

Brama tidak mengambil tas itu. Ia hanya menunjuk sofa di sampingnya. “Duduk, Rina. Kenapa kamu terlihat… terlalu ceria?”

Inner Monologue (Marina): Sial. Dia melihatnya. Aku harus menjaga ekspresiku. Kalau aku bilang Mando luar biasa, dia akan mengamuk dan kontolnya akan menghukum aku.

Marina duduk, senyumnya dipaksakan. “Ceria? Kenapa nggak? Penjualan naik, invoice aman. Mando juga lagi happy karena aku inisiatif program adik Dino.”

Brama memajukan wajahnya, memandang Marina intens. “Tatap mata gue, Rina. Bagaimana ngentot dengan Mando semalam? Jujur.”

“Biasa aja, Bram. Cepat dan manis. Dia muncrat dan langsung tidur. Hanya… tulus, seperti yang kamu suruh,” bohong Marina, suaranya berhasil terdengar meyakinkan.

Brama menyipitkan mata. Ia meraih tangan Marina, lalu menariknya dengan cepat ke dalam pelukannya. Ia menghirup dalam-dalam aroma Marina di lehernya, di antara belahan payudaranya.

“Bau kamu beda, Rina,” bisik Brama, suaranya dingin, namun ada gairah tersembunyi. “Ada bau sperma Mando. Bau yang kuat, lebih kuat dari biasanya. Dan ada bau keringat puas. Aku curiga, kamu tidak berakting tulus, kamu benar-benar menikmatinya.”

Jantung Marina mencelos. Brama adalah predator yang mengandalkan insting.

Inner Monologue (Marina): Dia tahu! Aku nggak membersihkan diri dengan benar setelah Mando. Sial, Mando ngentot aku sampai squirt, aromanya pasti menempel!

“Jangan gila, Bram! Aku hanya mau kamu. Kamu yang paling tahu memekku!” Marina membela diri, meskipun ia merasakan hasratnya pada Brama meningkat karena kecemburuan dan dominasi ini.

Brama tidak bicara lagi. Ia berdiri, dan dengan satu gerakan dominan, ia menarik Marina berdiri dan menciumnya. Ciuman itu kasar, menuntut, seolah ia sedang mencuri kembali jiwanya.

Brama merobek kancing blouse Marina yang tidak dikunci (ia selalu memastikan pakaian Marina mudah dilepas tanpa sobek), lalu mendorong Marina ke dinding.

“Aku akan ngentot kamu sekarang, Rina. Dan aku mau kamu ingat, kontol siapa yang paling dalam dan paling berhak membuat kamu muncrat!” Brama menggeram, ia melucuti celana Marina dan celana dalamnya.

Marina hanya bisa pasrah. Tubuhnya yang bereaksi liar terhadap dominasi Brama mengkhianati rahasianya.

Brama segera melepaskan celana dan celana dalamnya. Kontol panjangnya menyentuh perut Marina, dan Marina memejamkan mata, membandingkan secara otomatis sensasi kontak fisik ini dengan kenikmatan mendalam yang diberikan Mando semalam.

“Buka kakimu, Rina. Aku mau cek. Aku mau pastikan memek kamu masih jadi milik kontol gue!” Brama memerintah.

Marina segera menurut. Brama mengangkat salah satu kaki Marina, menaruhnya di pinggulnya.

“Aku masuk, Rina. Dan kalau memek kamu masih menyimpan kenikmatan suamimu, aku akan hancurkan kenikmatan itu dengan kontol gue!”

Brama menusukkan kontolnya dengan cepat, genjotan pertama yang keras, menusuk sedalam mungkin.

Inner Monologue (Marina): Ya Tuhan! Ini gila! Sensasinya berbeda! Kontol Mando besar dan gemuk, tapi kontol Brama panjang dan brutal. Tekanan dari ujung kontol Brama membuat rahimku berdenyut, seolah ia sedang menendang sperma Mando!

Brama menggenjot dengan kekuatan yang luar biasa, tidak peduli dengan irama lembut. Ini adalah hukuman dan klaim. Marina mencengkeram bahu Brama, giginya beradu.

Hot Talk (Brama, nada mencerca): “Apa? Kontol Mando buat kamu squirt tiga kali, Rina? Coba sekarang! Rasakan! Kontol gue buat kamu squirt tujuh kali! Jerit nama gue! Bukan nama suami kamu!”

Hot Talk (Marina, kesenangan karena dihukum): “Bram! Aku punya kamu! Kontol kamu menghukum aku! Aku suka! Lebih dalam! Hajar aku! Kontol kamu buat aku gila! Aku mau spermamu menang!”

Brama menarik Marina dari dinding ke tengah ruangan, mengganti posisi ke *********** sambil Marina berlutut di sofa. Posisi ini memungkinkan Brama melihat dan mengontrol ekspresi wajah Marina.

Brama menampar pelan pantat bahenol Marina. “Jangan bohong lagi ke gue, Rina. Kontol gue berhak tahu. Rasakan kedalaman ini, yang tidak bisa diberikan suamimu!”

Brama menggenjot dengan irama yang membuat Marina merasa memeknya akan terbelah, namun rasa sakit itu diselimuti oleh kenikmatan birahi yang ekstrem. Ia membelai puting Marina dengan tangan kirinya sambil terus menghantam memeknya.

Marina tidak bisa menahan gelombang orgasme pertamanya. Tubuhnya bergetar hebat, air mata kenikmatan membasahi pipinya.

ORGASME PERTAMA & SQUIRT PERTAMA (MARINA): “Ahhh! Kontol! Itu kena! Kontol kamu ngilu! Aku muncrat! SQUIRTTT! Aku hanya butuh kamu, Bram!” Marina menjerit, suaranya serak.

Brama tersenyum liar. Ia mencengkeram rambut Marina dan menariknya ke belakang sedikit. Ia melanjutkan genjotan brutalnya, menolak untuk mencapai klimaks.

Inner Monologue (Brama): Gue akan ngentot dia sampai dia lupa bagaimana rasanya kontol Mando. Sperma gue harus menjadi yang paling diinginkan, yang paling dominan di rahimnya.

Marina memohon, meminta Brama untuk melepaskan spermanya.

“Aku nggak mau, Rina. Belum. Kamu harus muncrat lagi. Aku mau kamu merengek kayak budak. Aku mau kamu memohon kontol gue!” Brama menahan diri, menikmati kontrol yang ia miliki.

Brama menarik kontolnya keluar sedikit, lalu menusuk kembali dengan kekuatan penuh. Gerakan in-out yang cepat dan keras ini membuat Marina gila.

Brama membalikkan Marina, ke posisi misionaris. Ia berbaring di atasnya, mencium leher Marina, dan berbisik.

“Aku akan muncrat di dalam kamu, Rina. Dan aku mau kamu rasakan sperma ini sebagai pembersihan dari semua sperma lain. Sperma gue yang akan menang.”

Genjotan Brama melambat, menjadi lebih dalam, lebih fokus pada tekanan.

Marina merasakan gelombang kedua datang tak tertahankan, dipicu oleh dominasi Brama dan janji prokreasi.

ORGASME KEDUA & SQUIRT KEDUA (MARINA & BRAMA): “Bram! Aku pecah lagi! AKU KELUAR! KONTOL KAMU TERBAIK!” Marina meraung, memeluk pinggul Brama dengan sekuat tenaga.

Kontraksi Marina memberi sinyal pada Brama. Ia menggenjot tiga kali terakhir, melepaskan seluruh air maninya.

“Aku muncrat! Sperma juara! Ambil semua, Rina! Ambil kontol gue!” Brama meraung, ambruk ke atas Marina, kontolnya masih keras di dalam.

Mereka terengah-engah, tubuh Brama yang berat menindih Marina, menekannya ke kasur. Marina merasakan air mani Brama memenuhi dirinya, terasa panas dan dominan.

Brama mencabut kontolnya perlahan. Ia menyeka keringat di dahi Marina.

“Aku tahu Mando sudah mencoba. Tapi kontol gue yang akan memberikan kamu anak. Jangan bohong lagi ke gue, Rina. Rahasiamu adalah kontol gue,” Brama berbisik.

Marina tersenyum, tubuhnya lemas namun jiwanya kembali tenang. Ia tahu Brama benar. Kenikmatan Mando adalah kejutan; kenikmatan Brama adalah kebutuhan.

“Aku janji, Bram. Aku nggak akan bohong lagi. Aku cuma mau kontolmu,” janji Marina, sebuah janji yang mungkin akan ia langgar lagi, karena kenikmatan dari dua kontol kini terlalu memabukkan.

Brama memeluknya erat, membiarkan Marina beristirahat sejenak, sebelum ia harus kembali ke rutinitasnya sebagai reseller dan istri yang bahagia.@Barasaki 

October 9, 2025 6:17 PM

Administrator

Bab 16: Hantaman Cinta dan Kontroversi Benih

Jumat, 8 Maret 1990

Setelah sesi ‘hukuman’ yang liar dengan Brama di RUKO YORASAKI, ritme kehidupan Marina kembali normal, namun dengan kecepatan dan intensitas yang jauh lebih tinggi. Rutinitas antara Marina, Armando, Dino, dan Brama mengalir seperti air bah. Marina harus pintar-pintar membagi energi: mengurus Dino dengan penuh kasih, melayani Mando dengan gairah yang semakin otentik, dan memuaskan Brama yang semakin menuntut kepastian.

Armando, didorong oleh semangat program kehamilan, menjadi jauh lebih proaktif dan penuh kejutan dalam menuntaskan hasrat birahi. Malam ini, setelah makan malam, Mando menghampiri Marina yang sedang menyiapkan kopi. Ia memeluk istrinya dari belakang.

“Rin, aku mau kita coba sesuatu yang baru malam ini. Aku habis baca sebuah buku, katanya posisi ini bisa membuat penetrasi lebih dalam dan peluang berhasil lebih besar,” bisik Mando, menyiratkan tujuan prokreasi.

Inner Monologue (Marina): Buku? Mando membaca buku tentang ngentot? Dia pasti mencari referensi untuk mengalahkan kontol Brama!

Di dalam kamar, Mando sudah menyiapkan kasur dengan penataan bantal yang aneh. Mando meminta Marina berbaring telentang, meletakkan bantal di bawah pinggulnya, sehingga memek Marina terangkat tinggi, dan kedua kaki ditekuk ke dada. Ini adalah posisi yang sering Brama sebut ‘pemburu rahim’.

Mando menatap Marina, matanya memancarkan gairah yang jujur dan rasa cinta yang mendalam.

“Aku ingin kamu benar-benar basah, Rin. Bukan cuma karena aku mau anak. Tapi karena aku cinta kamu,” kata Mando tulus, sebelum ia mulai mencium Marina.

Mando kali ini memulai dengan foreplay yang lambat, fokus pada payudara jumbo Marina. Ia mengulum puting Marina yang agak panjang, lalu menjepitnya dengan lidah, menciptakan sensasi yang membuat Marina melengkung. Mando tahu betul di mana harus memberi tekanan dan di mana harus menggoda. Ia seperti telah memetakan semua zona kenikmatan Marina dalam semalam.

Inner Monologue (Marina): Mando jauh lebih baik daripada semalam! Dia belajar cepat! Sentuhannya mematikan. Dia fokus pada klitoris sambil menghisap payudaraku. Brama selalu terlalu cepat, terlalu brutal. Mando tahu cara membangunnya.

Marina mengerang, tangannya menarik kepala Mando lebih dalam ke payudaranya. Gairah itu asli, tanpa perlu akting.

Mando beranjak. Ia melepaskan celananya, memperlihatkan kontolnya yang tebal dan membesar, urat-uratnya menegang.

“Siap untuk kedalaman, Sayang? Aku mau kontol ini benar-benar menyentuh rahim kamu,” tanya Mando, suaranya parau.

Marina tidak bisa bicara, ia hanya mengangguk liar, tangannya meraih kontol Mando, mengagumi ketebalannya.

Mando menusukkan kontolnya. Karena pinggul Marina terangkat, penetrasi Mando terasa sangat dalam, bahkan lebih dalam dari yang biasa ia rasakan dari kontol panjang Brama.

“Ah! Dalam, Mando! Sangat dalam!” rintih Marina, sensasi ngilu yang muncul dari penetrasi ekstrem Mando begitu kuat.

Mando memulai genjotan. Gerakannya sangat berbeda dari Brama. Mando menggunakan genjotan yang mengangkat Marina, mendorongnya ke atas dengan setiap dorongan. Durasi permainan Mando malam ini terasa jauh lebih panjang dari sebelumnya. Ia tidak buru-buru; ia menikmati setiap inci gesekan.

Hot Talk (Armando): “Rasakan kontol Papa kamu, Sayang. Aku mau kamu ingat, kita buat adik Dino malam ini. Aku mau sperma ini menjadi benih cinta kita!”

Hot Talk (Marina, gairah asli): “Aku suka posisi ini! Kontol kamu menyiksa aku! Lebih dalam! Aku mau kamu robek aku! Aku mau spermamu! Aku mau muncrat!”

Rina memeluk pinggul Mando dengan erat, kaki Marina mencengkeram erat punggung Mando, takut kehilangan kenikmatan yang diberikan suaminya.

Mando melanjutkan genjotan dengan teknik yang sungguh mengejutkan. Ia mengombinasikan dorongan yang dalam dan lambat dengan gerakan memutar pinggul yang mematikan, menargetkan G-spot Marina tanpa ampun.

Inner Monologue (Marina): Ini Gila! Posisi ini Brama yang mengajarkan! Tapi dengan kontol Mando yang lebih tebal dan ritme yang penuh cinta, rasanya sepuluh kali lebih nikmat! Aku merasa memekku benar-benar penuh, terpuaskan. Brama hanya memberikan thrill bahaya, Mando memberikan kepuasan sempurna.

Sensasi itu menumpuk tak terbendung. Marina merasakan ledakan pertama datang tanpa perlu akting.

ORGASME PERTAMA & SQUIRT PERTAMA (MARINA – ASLI): “Mandooo! Aku keluar! SQUIRTTTT! Aku nggak tahan! Kamu luar biasa!” Marina menjerit, tubuhnya bergetar dan air matanya menetes, bukan karena sakit, melainkan karena kenikmatan yang otentik.

Mando tersenyum bangga, namun ia tidak berhenti. Ia melanjutkan genjotan, mengubah irama menjadi lebih cepat dan dangkal, fokus pada stimulasi klitoris dari dalam.

“Itu baru satu, Sayang. Aku mau kamu pecah lagi. Aku mau kamu merasakan kontol ini sampai kamu lemas,” janji Mando, wajahnya dipenuhi keringat dan gairah.

Mando menarik Marina ke posisi cowgirl terbalik, di mana Marina menghadap kaki Mando. Mando meminta Marina mengontrol kecepatan, tetapi ia mengontrol kedalaman dengan cengkeraman pinggul yang kuat.

Hot Talk (Armando): “Naik, Sayang. Ngentot aku. Aku suka lihat payudara kamu bergoyang saat kamu ngentot kontol gue! Aku milikmu!”

Marina yang semula kelelahan, kini merasakan energi baru. Posisi ini membuat kontol Mando yang tebal menggesek setiap lipatan memeknya. Ia mulai menggenjot Mando dengan irama yang brutal dan liar, melepaskan semua frustrasi dan rahasia yang ia simpan dari Brama.

Inner Monologue (Marina): Aku harus muncrat lagi. Aku harus lepaskan semua racun kebohongan ini. Aku ingin anak ini lahir dari sperma suami yang mencintaiku dengan tulus, bukan dari sperma sang juara selingkuh! Aku tahu pasti... anak ini bukan anak Brama! Aku tidak peduli sperma siapa yang menang, yang pasti anak ini adalah anak Mando! Aku yakin itu! Tidak akan ada genetik Brama sedikit pun di janin yang akan tumbuh di rahimku!

Keyakinan itu begitu kuat, hampir seperti firman. Itu memberinya kekuatan gairah yang luar biasa.

Gelombang kedua datang dengan kekuatan badai, lebih hebat dari yang pertama.

ORGASME KEDUA & SQUIRT KEDUA (MARINA – ASLI/PUNCAK): “Aaaahhhh! Mando! Ini ngilu! Aku pecah! AKU HAMPIR PINGSAN! KONTOL KAMU MENYIKSA AKU DENGAN NIKMAT!” Marina menjerit, ambruk ke dada Mando.

Mando merasakan kontraksi hebat itu. Ia membalikkan Marina ke posisi misionaris, menggenjot tiga kali terakhir dengan seluruh sisa tenaganya, melepaskan gelombang terakhir spermanya.

ORGASME (ARMANDO – ASLI/PUNCAK): “Rinnn! Aku muncrat! Aku muncrat di dalam kamu! Aku cinta kamu!” Mando meraung, memeluk Marina erat.

Mando ambruk di atas Marina, terengah-engah. Ia tidak mencabut kontolnya. Mereka berpelukan erat, kontol Mando yang mulai melunak namun tetap tertanam di dalam memek Marina.

Mando mengangkat kepalanya, tersenyum lebar. “Gimana, Sayang? Kamu menikmatinya?”

“Tentu aku suka, Mando… aku suka sekali. Kamu hampir membuat aku pingsan,” jawab Marina jujur, memeluk pinggul Mando dengan erat, tidak mau kehilangan nikmat yang diberikan suaminya.

Inner Monologue (Marina): Aku tak mungkin memberitahu Brama, bagaimana kuatnya Armando ngentotnya hari ini. Kontolnya menghajar memekku sampai ngilu, tapi rasa ngilu itu adalah kenikmatan sejati. Sperma Mando terasa hangat dan penuh harapan. Biarlah ini tetap jadi rahasia Rina dan suaminya. Aku tidak akan membiarkan Brama tahu, betapa sempurna kontol Mando sekarang.

Mereka tertidur dengan Mando masih memeluk Marina, kontol Mando tetap berada di dalam memek Marina. Marina merasa tenang, terpuaskan, dan memiliki rahasia ganda yang membuatnya semakin tenggelam dalam hidup ganda yang penuh kenikmatan ini. Ia siap untuk kembali berakting tulus di depan Brama, menyembunyikan fakta bahwa suaminya kini adalah saingan yang jauh lebih kuat dari yang Brama bayangkan.@Barasaki 

October 9, 2025 6:17 PM